Mohon tunggu...
Sanusi at Maja
Sanusi at Maja Mohon Tunggu... Penulis - Da'i/ Anggota PISHI/Alumni Pasca UNIRA MALANG

Love for All Hatred for None

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mbah Dul Karim, Tokoh Spiritual Jambuwer (Kromengan)

12 September 2023   06:06 Diperbarui: 12 September 2023   06:27 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jambuwer adalah sebuah desa yang bertetangga dengan Peniwen, daerahnya merupakan pedesaan yang asri dikitari sawah-sawah dan kebun-kebun kopi. Kawasan ini termasuk kaki gunung Kawi. Berbicara menganenai Jambuwer pasti tidak lepas dari tokoh legendaris Mbah Dul Karim, beliau adalah tokoh Spiritual yang memiliki banyak murid. Mereka  datang dari Surabaya, Semarang, Solo, Klaten dan lain-lain.

Silsilah Mbah Dul Karim berkaitan erat dengan Ponorogo, karena orang tua beliau berasal dari sana, konon orangtuanya mencari saudaranya yang merantau ke Jambuwer, setelah bertemu dan bersepakat akhirnya merekapun berpindah dari Ponorogo ke Jambuwer sekitar tahun 1930 an dan sampai akhirnya mereka dikarunia 6 orang anak, yaitu Pak Kasiran, Ibu Kaltum, Ibu Kasum, pak Dikun, Mbah Dul Karim sendiri dan terakhir pak Deri (Ismail), yaitu ayahanda pak Suroto yang penulis wawancarai dalam menggali kisah mbah Dul Karim ini.

Dalam proses kehidupannya Mbah Dul Karim dikenal sebagai orang yang gemar bertapa, seperti tapa ngalong, yaitu bertapa di atas pohon dan ritual-ritual tapa lainnya. Konon beliau pernah juga bertapa di puncak Semeru. Hasil dari keprihatinan itu kemudian beliau memiliki sejumlah kesaktian dan ilmu-ilmu kebatinan, diceritakan pak Suroto bahkan beliau memiliki selendang Pelangi.

Selain dikenal karena ilmunya, Mbah Dul Karim muda dikenal cukup nakal, beliau pernah melakukan beberapa kali pencurian seperti di Pabrik kopi Belanda yang ada di Kromengan, pernah juga beliau menghabiskan lumbung padi Peniwen. Diceritakan pak Suroto, sekali waktu beliau di tangkap Belanda dan dimasukan penjara. Sebelum masuk penjara beliau digebuki oleh dahan aren yang daunnya di buang sehingga runcing seperti berduri, seandainya tidak punya kesaktian mestinya beliau sudah babak belur. Setelah itu beliau dikeluarkan dari penjara dimasukin bajong (keramba dari bambu) dan ditutupi daun talas, anehnya setelah sampai di Jambuwer beliau kembali sehat tanpa cacat.

Mbah Dul Karim selain dikenal nakal dan sering mencuri tetapi sebenarnya beliau tidak menikmatinya sendiri, melainkan membagikannya kepada orang-orang yang tidak mampu, mungkin perilaku inilah yang kemudian membuat saudara, teman ataupun sahabat mengenangnya sebagai sisi baik dari beliau.

Kemudian ketika desa Jambuwer di pipimpin oleh kepala desa bernama pak Cokro, Mbah Dulkarim menjadi Jogoboyo, atau sekarang dikenal sebagai kepala keamanan desa. Di masa bertugas konon tidak ada pencuri beroprasi di wilayah Jambuwer yang tidak tertangkap. Sekalipun barang bukti curian sudah berubah bentuk pasti diketemukan. Seperti ada orang mencuri seng, sekalipun sudah dibuat talang di atas genting tetap terlacak oleh mbah Dul Karim. Pak Suroto menambahkan pasti ayang-ayang (bayangan-semacam dewa yang selalu menyertai Mbah Dul karim) yang membisikan siapa pencurinya. Karena tugas beliau sebagai jogoboyo menjadi banyak yang memusuhinya, tidak lain mereka adalah kepala-kepala rampok itu. Hingga pernah suatu kali beliau dikeroyok di Pasar sumberpucung.

Setelah kepala desa Jambuwer berganti dari pak Cokro ke Pak Ranu, kemudian Mbah Dulkarim berhenti dari Jogoboyo dan mendirikan Padepokan untuk menerima para murid beliau yang ingin memperdalam ilmu kebatinannya di Mbah Dul Karim. Dengan adanya padepokan dan banyaknya orang yang datang itulah mbah Dul Karim memiliki banyak harta, akan tetapi beliau tidak pelit. Bahkan masyarakat Jambuwer masih mengingat bahwa ketika belum ada listrik beliau dengan biaya sendiri memasang Ting (lampu minyak) di setiap perempatan jalan, kemudian setelah ada kincir air beliaulah yang membelikan dan membangun kincir air untuk mendapatkan daya listrik dan menerangi warga, selain itu dengan biaya sendiri beliaulah yang memelopori pembangunan saluran air minum dari sumbernya di Ambyakan. Beliau sendiri yang membelikan seluruh paralonnya, ketika Mbah Dul Karim ditanya kenapa beliau melakukan itu semua, beliau menjelaskan, saya dapat uang dari orang ya harus dikembalikan ke orang lain supaya manfaat.

Kejadian menarik setelah berdiri Padepokan Mbah Dul Karim, ada pengemis yang mendatangi padepokan mbah Dul Karim, beliau tidak senang dan mengusir orang itu dengan cambuk. Pada dini harinya sekitar jam 4 subuh, padepokan mbah Dul Karim ambruk, dan kemudian diketahui pengemis tadi siang itu ternyata adalah eyang sapujagat yang seolah menguji kemampuan ilmu mbah Dul karim. Anehnya juga mbah Dul Karim seperti sudah mengetahui padepokan beliau akan ambruk sehingga ratusan tamu yang datang beliau pulangkan lebih cepat. Sekira tamunya sampai di Blado-Peniwen kemudian padepokannya amblas, Jadi tidak ada tamu yang menjadi korban. Itulah adu kesaktian jaman dulu, mungkin tidak mengenai badan Mbah Dul Karim tetapi padepokannya yang menjadi korban kesaktian Eyang Sapujagat.

Ada satu keunikan Mbah Dul Karim dalam melayani tamu atau murid beliau yang datang ke padepokannya, seperti jika tamunya di buatkan minum atau di suruh makan tidak segera diindahkan oleh tamunya, beliau akan membereskan kembali makanan dan minuman itu. Bahkan keesokan harinya jika tamu itu datang lagi, maka beliau tidak akan meyuguhinya lagi.

Sebelum kejadian G30S PKI, mbah Dul Karim sempat bertemu dengan presiden Sukarno, dan rupanya kemasyhuran ilmu Mbah Dul Karim sampai juga ke telinga presiden pertama kita, Mbah Suroto bilang Mbah Dul Karim sampai diajak pindah ke Jakarta, namun Mbah Dul Karim menyampaikan bahwa : " boleh saja saya pindah tetapi mohon dibuatkan rumah juga untuk seluruh saudara saya". Tentu saja syarat itu tidak dipenuhi oleh Sukarno. Saya menduga kedekatan Mbah Dul Karim dengan Presiden Sukarno karena ilmu kebatinan beliau sudah dalam taraf yang tinggi atau bahkan memiliki kesamaan dengan ilmu yang dimiliki Sukarno yaitu sedulur papat kelimo pancer.

Mbah Dul Karim meninggal Jam 12 malam tahun 1982, hampir mendekati peristiwa meletusnya gunung Galunggung di Garut Jawa Barat. Mbah Suroto bercerita bahwa beliau seperti sudah tahu kapan akan meninggal, karena Mbah Suroto diminta untuk menggali kuburan untuk Mbah Dul Karim di Padepokan beliau, padahal beliau masih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun