Mohon tunggu...
Hasan Sanusi
Hasan Sanusi Mohon Tunggu... Teknisi - Nothing else

Think Globally Act Locally

Selanjutnya

Tutup

Money

Mekarnya Sakura Ilmu di Negeri Ginseng

19 April 2017   22:47 Diperbarui: 23 November 2018   00:38 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.




Man Jaddah Wajjada,

Begitulah kiranya gambaran yang tepat untuk mengungkapkan tentang bagaimana perjuangan para TKI yang bekerja di Korea Selatan dalam merubah gaya hidup dan kehidupannya dengan bekerja sambil berkuliah di Universitas Terbuka yang dinaungi oleh KBRI setempat.

          

               Korea Selatan sebuah negara modern nan cantik dengan ibu kota negara bernama Seoul. Keberadaan ginseng atau dalam bahasa setempatnya sering dengan Insam yang hampir selalu mewarnai kehidupan sehari hari masyarakatnya yang merupakan penghasil ginseng terbesar didunia, menjadikan Korea selatan dikenal oleh khalayak dengan panggilan Negeri Ginseng.  Sebagai negara maju dan menjadi salah satu dari empat macan Asia Timur, Korea Selatan telah mencapai rekor ekspor impor yang memukau. Dimana nilai ekpornya merupakan terbesar kedelapan dunia. Dengan adanya kemajuan ekonomi yang sangat pesat inilah akhirnya membuat Indonesia melakukan hubungan bilateral dengan Negeri Ginseng dalam beberapa sektor pembangunan negara. Melalui penandatangan Join Declaration on Strategic Patnership oleh presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan presiden Roo Moo Hyun pada tanggal 4 Desember 2006 di Jakarta, Korea Selatan akhirnya dijadikan sebagai salah satu mitra strategis yang penting bagi Indonesia. Kerjasama bilateral ini terjadi bukan hanya dalam sektor politik, ekonomi, social budaya saja. Namun, dalam sektor ketenaga kerjaanpun, pemerintahan Indonesia dan Korea Selatan juga melakukan hubungan kerjasama bilateral tersebut.

                Sebagai negara yang memerlukan berbagai sumber daya yang tidak hanya selalu tentang sumber daya alam saja, Korea Selatan pun memerlukan impor barang dan jasa dari luar sebagai bahan dan penunjang untuk kegiatan industrinya. Selain sumber daya alam, Korea Selatan juga mendatangkan tenaga kerja asing untuk menjalankan mesin-mesin dalam proses kegiatan industri tersebut.Disamping kurangnya angkatan kerja yang tersedia dan telah mencapai tingkat kemakmuran yang cukup tinggi, menyebabkan mereka umumnya kurang berminat untuk bekerja di sektor industri yang sebagian besar adalah usaha kecil dan menengah. Sehingga dibukalah pintu masuk bagi para tenaga kerja asing negara ini. Maka dari itu, sampai saat ini terdapat 15 negara termasuk Indonesia yang mengirim tenaga kerjanya ke Negeri Ginseng.

                  Dalam sejarahnya sendiri, Indonesia telah melakukan pengiriman TKI ke Korea selatan sejak tahun 1994. Pengiriman TKI ke Korea Selatan  pada masa itu terjadi melalui mekanisme yang disebut Industrial Trainee Program. Sebab, waktu itu undang undang ketenaga kerjaaan  yang ada di Korea Selatan belum membolehkan tenaga asing untuk masuk bekerja ke negara tersebut. 

Baru pada tahun 2004 tenaga kerja asing akhirnya bisa masuk bekerja melalui skema EPS (Employment permit System) ke negara ini. Adanya penandatangan MOU EPS yang dilakukan oleh pihak Korea Selatan  tanggal 13 Juli 2004 untuk pengiriman TKI dengan format G to G dan bahkan  telah diperpanjang dua kali yaitu tahun 2008 dan 2012 akhirnya memberi angin segar bagi para pekerja Indonesia yang ingin bekerja di Negeri Ginseng. (kbriseol.kr, diakses tanggal 19 Desember 2016).

                  Berdasarkan data BNP2TKI, adanya minat yang sangat tinggi dalam diri para TKI tersebut disebabkan oleh karena gaji yang diterima  cukup besar. Yakni mencapai angka minimal 14 juta rupiah perbulannya.  Belum ditambah uang lembur dan berbagai fasilitas lainnya sehingga  memberikan animo tinggi dalam diri TKI untuk bekerja di Korea Selatan yaitu sekitar 30 ribu-33 ribu orang setiap tahunnya. Namun karena adanya beberapa seleksi yang sangat ketat, akhirnya tinggal tersisa sekitar 6.500 orang calon TKI yang lulus dalam tes setiap tahunnya. Maka, apabila di hitung-hitung sejak tahun 2007 sampai awal 2016, sekarang ini jumlah TKI di Korea Selatan telah mencapai sekitar 58 ribu orang.

                  Salah satu faktor penyebabnya karena keberadaan tenaga kerja yang bekerja di Korea Selatan banyak disukai oleh kalangan perusahaan maupun pengguna jasa lainnya ialah pola kerja TKI yang  dikenal ulet, tekun, telaten, sabar, santun dan nrimo (menerima) apa adanya. Dan bahkan tidak sedikit  perusahaan yang terkadang meminta para TKI untuk bekerja menggantikan tenaga kerja domestik terutama pada saat hari liburan baik dalam bidang manufakur dan perikanan di Korea Selatan (www. bnp2tki.go.id, diakses tanggal 19 Desember 2016).

    

                  Pada realitanya, di balik gaji yang besar yang diterima para TKI ternyata juga memberikan dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selain gaji yang diterima cukup besar, para TKI ini dalam kesehariannya juga memiliki gaya hidup yang cukup tinggi.Selain itu,karena sebagian TKI dalam kegiatannya di Korea Selatan selalu berpapasan dengan budaya yang ada ditempat tersebut, akhirnya mereka pun secara tidak langsung terkena sindom budaya masyarakat yang ada di tempat tinggal mereka ini. Alhasil, rata-rata kebanyakan para TKI ini pun secara tidak langsung tersihir sindrom Korean Wave/ Hallyu(Gelombang Korea) yang ada ditempat tersebut.

                   Budaya kedisiplinan dalam bekerja mungkin memang akan memberikan sumbangsih yang tinggi bagi gaya hidup para TKI yang positif. Namun, budaya Korean Wave/ Hallyu(gelombang Korea) yang cenderung konsumtif,menghambur-hamburkan uang,dan jauh dari tuntunan agama apabila tidak bisa disikapi dengan baik justru akan membawa para TKI ke dalam lubang kehancuran hidupnya di negara ini. Hal ini karena budaya tersebut tidak sesuai  dengan budaya asli dan tujuan awal yang ingin diraih oleh para TKI sebelum datang ke Korea selatan.

  

                   Miris dalam realitanya Korea Selatan tidak seindah seperti dramanya. Biaya dan gaya hidup yang cukup tinggi menjadikan para TKI cenderung bekerja mencari uang hanya untuk kebutuhan konsumtif mereka. Sehingga terkadang pulang ke Indonesia akhirnya tanpa memiliki planning untuk masa depannya.Sebab fakta yang dapat ditemui dalam realitanya, gaji yang dikumpulkan para TKI dari hasil bekerja di negeri Ginseng ini hanya melintas sejenak saja tanpa ada kelanjutannya. Kejadian ini  terjadi karena latar belakang  para TKI rata- rata berasal dari usia produktif belia dimana pola pikirnya belum begitu matang dan rentan terkontaminasi mengikuti arus budaya yang ada di Korea Selatan tersebut .Terutama bagi para TKI yang terkena sindrom Korean Wave/ Hallyu(demam Korea) sehingga membuat mereka lupa dengan tujuan awal pergi ke Korea untuk mengumpulkan dana dan menafkahi keluarga serta membangun usaha di tanah air demi masa depan yang lebih cerah dan lebih memilih mengikuti arus budaya yang menghancurkan kehidupan tersebut. Sebab dalam diri para TKI pecandu Korean Wave/ Hallyu(Gelombang Korea) tidak ada lagi kata menabung, mereka bekerja hanya untuk kesenangan dunia serta berfoya-foya.

                  Namun, dibalik itu semua, masih ada segelintir para pekerja yang memilih gaya hidup berbeda dari mayoritas TKI yang terkontaminasi budaya glamor tersebut dalam perjalanan hidup mereka di negeri Ginseng ini. Masih ada segelintir para TKI yang menginvestasikan hasil kerjanya dalam bentuk sesuatu yang lebih bermanfaat dan berguna untuk masa depannya seperti, menabung dan membuka usaha. Bahkan, salah satu investasi jangka panjang yang diambil sebagai langkah pembaharuan untuk masa depan pun juga ada.  Seperti misalnya dengan jalan  masuk ke dalam lembaga pendidikan.

                   Berdasarkan data BNP2TKI, rata –rata yang mengambil jalur ini berasal dari  minoritas yang terhitung hanya 1,25 % atau sebanyak 500 pekerja dari 40.000 pekerja saja. (zicoalaia.wordpress.com, Pidato Pergantian Kepengurusan UT Korea, diakses tanggal 20 Desember 2016). Berasal dari minoritas yang hanya 1,25%  inilah, para TKI kembali melanjutkan jenjang pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi  untuk mengubah masa depannya dengan cara yang berbeda. Hal ini menunjukan kalau dalam faktanya, pendidikan merupakan investasi seumur hidup yang dapat memobilitas seseorang secara aman untuk menuju ke tingkatan hidup yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Baik mobilitas dalam segi perubahan pola pikir atau bahkan untuk mendapatkan pekerjaan baru yang lebih layak lagi.

                  Filosifis tuntutlah ilmu selama hayat masih dikandung badan atau dalam istilah akademisnya sering disebut dengan live long education sepertinya sangat berlaku untuk kaum minoritas TKI yang memilih menjadi mahasiswa di Negeri Ginseng ini. Ditambah lagi dengan adanya penguatan dari UUD 1945 setelah amandemen pasal 28C ayat (1) yang menjelaskan bahwa “ setiap orang berhak mengembangkan diri untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” (www.jdih.kemenkeu.go.id, diakses tanggal 20 Desember 2016). Sehingga peluang mereka dalam rangka investasi seumur hidup ini diharapkan mampu mereka dapatkan melalui jalur pendidikan di lembaga pendidikan.

                  Adapun kendala ketika seorang TKI ingin melanjutkan pendidikan dengan jalan kuliah di lembaga pendidikan ini yaitu berkaitan dengan waktu luang yang dimiliki para pekerja.Berhubung visa yang dimiliki merupakan visa E9 atau visa pekerja yang mengharuskan aktifitas utama mereka adalah bekerja di negara tujuan  membuat hal ini tidak memungkinkan para TKI untuk masuk ke lembaga pendidikan di Universitas lokal yang ada di Korea Selatan tersebut. Karena, aktivitas perkuliahan di universitas lokal pastinya akan terbentur dengan jam kerja para TKI yang juga kadang mewajibkan mereka untuk lembur hingga larut malam. Sehingga satu solusi yang menjadi pilihan cocok bagi para TKI yang ingin bekerja sambil kuliah adalah masuk ke dalam lembaga pendidikan Universitas Terbuka atau lebih dikenal dengan singkatan UT.

                   Universitas yang berdiri sejak tanggal 4 September 1984 berdasarkan keputusan Presiden RI No.41 ini menjadi solusi bagi para pekerja yang ingin berkuliah bukan hanya di dalam negeri saja namun diluar negeri pun (tanpa terkecuali UT di Korea Selatan) juga ada. Keberadaan UT di Korea Selatan, sangat membantu untuk mewujudkan mimpi para TKI agar dapat merasakan jenjang  pendidikan yang lebih tinggi lagi selain bekerja di negara ini. Seperti sakura ilmu yang mekar sempurna, begitulah keberadaan UT yang menjadi oase pelipur dahaga bagi para TKI yang ingin menuntut ilmu di negeri Ginseng ini. Adanya program belajar yang bersifat Long Distance Education dan terbuka untuk semua kalangan, tidak harus selalu tatap muka jelas menjadikan sistem pendidikan di UT sangat cocok bagi para TKI yang memiliki aktivitas bekerja yang sangat padat.

                    Semangat juang tinggi dalam menempuh pendidikan sangat terlihat dan menjadi warna tersendiri di tengah kesibukan kerja para TKI ini.Sebagai contoh fakta yang terlihat saat kegiatan perkuliahan, terkadang ada beberapa yang baru selesai bekerja di minggu pagi sekitar jam 7-an namun telah siap masuk perkuliahan pagi itu dengan selang waktu yang hanya ditiga jam berikutnya. Sehingga tidak jarang diantar pekerja ada yang tertidur di kelas ketika perkuliahan berlangsung. Namun, dengan adanya motivasi yang dimiliki untuk meraih masa depan yang lebih cerah berupa kesuksesan hidup menjadikan para TKI ini rela keluar dari zona nyaman yaitu istirahat di hari minggu serta tidur lebih akhir setelah bekerja untuk menyelesaikan tugas tugas perkuliahannya.Hal ini tidak lain demi mewujudkan  harapan mereka agar nantinya dapat  pulang dari Korea Selatan bukan lagi hanya membawa uang namun juga dapat membawa gelar sarjana ke kampung halamannya.

                    Kemudian, adapun hal lain yang juga  didapatkan oleh para TKI yang berkuliah di UT yaitu berupa pengalaman berbasis ilmu pengetahuan yang lebih matang dibanding dengan teman teman pekerja yang hanya bekerja di negeri Ginseng ini. Bahkan kebanyakan dari para TKI ini juga ada yang berhasil membuka jalur link pekerjaan dan usaha yang lebih luas dan tepat sasaran ketika berkuliah Universitas Terbuka.Sehingga dengan adanya status sarjana ditangan yang akan diraih diharapan selanjutnya para TKI ini bisa menerapkan keilmuannya tersebut setelah kembali ke kampung halaman. Misalnya dari mulai membuka usaha dan berinvestasi  dengan ilmu yang ada atau bahkan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih layak di negara sendiri. Tentunya dengan modal ijazah sarjana  dan skillyang telah dimilikinya tersebut.

                     Bahkan diantara para pendahulu yang berasal dari TKI Korea Selatan ini ada yang kembali melanjutkan kuliahnya sehingga sekarang telah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dari sebelumnya yaitu menjadi dosen dan juga pengusaha sukses. Sehingga mereka akhirnya mampu membuka lapangan pekerjaan serta mengurangi angka pengangguran di daerah asalnya. Salah satunya Andri Noviantoro. Setelah kembali dari korea selatan, Mahasiswa Fakultas Ekonomi UT Korea Selatan Jurusan Ilmu Manajemen ini, telah sukses merintis usaha restauran di tanah  kelahirannya yaitu Muntilan -Magelang. Dengan menerapkan ilmu yang di dapat selama berkuliah di UT korea selatan, beliau yang pernah menjabat sebagai Ketua BEM KOUSA 2 UT Korea selatan periode 2014-2015,hingga saat ini  dirinya telah mampu mempekerjakan 20 orang bahkan telah membuka cabang restaurant  “dapoer gending” miliknya di sekitar candi Borobudur,Magelang Jawa tengah.

                    Melihat potensi yang dimiliki TKI sekaligus mahasiswa UT Korea Selatan yang sangat tinggi diharapkan akan mampu memunculkan rasa optimismekepada generasi selanjutnya yang mengambil jalur pendidikan sebagai investasi jangka panjang para pekerja di wilayah ini. Bahwa dengan adanya para mahasiswa TKI ini akan lahir  para  agen perubahan atau agent of change sesungguhnya ,yang akan memberikan sumbangsih positif bagi perekonomian Indonesia. Seperti mekarnya bunga sakura yang menjadi penanda datangnya musim semi yg penuh dengan bunga yang bermekaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun