T
erdengar sorak-sorai dari bocah-bocah yang girang saat bersama-sama bisa membasahkan tubuhnya di sungai. Tampak beberapa anak yang masih belia menikmati keadaan alam yang kini telah tercemar itu. Tanpa merasa malu dengan tidak memakai busana, mereka saling menciprat air ke lawannya, dan saling bercanda. Tidak cukup hanya begitu saja, sungai itu sudah sejak dari dulu menjadi tempat untuk belajar dan berlatih renang. Tidak heran, jika anak-anak yang cukup intens bermain di sungai, mereka mampu menguasai teknik olah raga renang dengan sendirinya tanpa dilatih. Selain bocah-bocah, orang-orang dewasa pun juga turut mengisi keramaian di sungai itu.
Sungai Bedadung, sudah tidak asing lagi bagi telinga masyarakat Jember. Sungai yang bersumber dari pegunungan Iyang ini dahulunya cukup dekat di hati masyarakat Jember. Lantaran kerapnya aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan Bedadung seperti mencuci, memancing, bahkan mandi, membuat sungai ini telah menjadi bagian tersendiri bagi masyarakat.
Sungai tersebut tidak hanya menjadi sumber kehidupan, namun juga menjadi pusat interaksi dan penyebaran budaya dahulunya. Bahkan, mitos tentang Bedadung masih dipercaya sampai sekarang. Masyarakat mempercayai jika ada warga pendatang atau penduduk asli yang mandi di sungai tersebut, maka dia akan mendapat jodoh yang berasal dari Jember, dengan kata lain dia akan mempunyai keluarga serta tinggal di kota Jember nantinya. Begitulah mitos yang tersebar dari mulut ke mulut.
Berbagai kemurahan yang diberikan oleh Bedadung, adakalanya kemurahan itu harus dibayar dengan kemalangan. Entah itu banjir, ataupun korban tenggelam hingga memakan nyawa pun juga menjadi cerita yang terus berlanjut dari generasi ke generasi. Sungai Bedadung turut dikenal oleh masyarakat luar Jember dengan adanya tragedi-tragedi yang sampai menelan korban. Seperti yang pernah diberitakan di media beberapa waktu lalu, tragedi tersebut antara lain tewasnya mahasiswa yang bernama Jalal lantaran tenggelam di Sungai Bedadung pada Kamis (17/05/2012) silam, setahun kemudian tragedi berlanjut dengan tewasnya seorang mahasiswa yang bernama Syamsul Hadi pada Selasa (26/02/2013). Tidak berhenti di situ, tragedi selanjutnya menimpa Rahmad Adi Saputra (19) mahasiswa semester 3 FKIP UNEJ pada Sabtu (18/10/2014) kemarin. Baru-baru ini juga dikabarkan, Bedadung telah menelan korban yang berasal dari salah seorang anggota polisi yang bernama Brigpol I Wayan Suwenda (57) pada Senin (3/11/2014). Walau berita telah beredar seperti, Bedadung sama sekali tidak tercitrakan buruk oleh masyarakat.
Dengan menjadi tempat tinggalnya berbagai jenis ikan, udang serta binatang lainnya yang bisa dimakan sekaligus di jual, setidaknya dahulu sebelum tercemar, sungai ini pernah menjadi tempat untuk mencari rezeki oleh masyarakat setempat. Namun seiring perkembangan zaman yang semakin modern, masyarakat kini tidak begitu peduli dengan lingkungan. Kesibukan dengan pekerjaannya sendiri membuat masyarakat enggan bahkan tidak mau terlibat dengan urusan-urusan di luar kepentingannya. Bagaimanapun caranya asal lingkungan sendiri bersih mereka sudah puas. Alhasil, mereka yang tinggal di dekat sungai kini menjadikan sungai itu sebagai tempat pembuangan sampah.
“Tahun 70-an sampai 1981 belum ada orang yang membuang sampah ke sungai. Mulai tahun 1985-lah masyarakat mulai membuang sampah di pinggiran sungai hingga berlanjut sampai sekarang,” kata Mahmud (72), salah seorang penduduk asli Jember yang tinggal tidak jauh dari bantaran Bedadung.
Orang yang pernah menjadi ketua RT 01 Kecamatan Sumbersari di tahun 70-an itu menegaskan, awalnya masyarakat mempunyai pekarangan rumah yang luas sehingga bisa menyediakan lahan untuk pembuangan sampah. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, masyarakat mau tidak mau harus memanfaatkan lahan pekarangan rumahnya untuk keperluan yang lain. Banyak masyarakat pada saat itu yang mulai mengubah lahan kosong yang awalnya sebagai tempat sampah itu untuk dibangun rumah atau semacamnya. Hal itulah yang memaksa masyarakat untuk membuang sampah ke sembarang tempat, termasuk ke sungai lantaran tidak tersedianya lahan di pekarangan rumah mereka sendiri. Sementara penanganan tentang persampahan masih belum ada pada saat itu, masyarakat sudah terbiasa membuang sampah ke sungai bahkan hingga saat ini.
Banyaknya sampah yang mulai menghiasi pinggiran Bedadung, membuat sungai ini tercemar berat. Berdasarkan uji coba kualitas air yang pernah dilakukan instansi terkait, Sungai Bedadung kini telah masuk pada kelas empat dalam artian kualitas air sungai tersebut sudah sangat tercemar. Meskipun sudah berada pada level empat dalam tingkat pencemarannya, aktivitas masyarakat dalam kesehariannya tidak pernah putus hubungan dengan Sungai Bedadung. Ibarat peribahasa “Adat lama pusaka using”, walau zaman telah berganti serta sungai mulai tercemar, kebiasaan lama masih berlaku hingga kini. Sayang, orang awam masih belum paham betul akan bahaya yang mungkin bisa saja diderita lantaran menggunakan air sungai yang sudah tercemar sampai tingkat akut itu.
Tidak jarang dijumpai anak-anak bahkan orang dewasa yang masih mandi di Sungai Bedadung, mencuci hingga membuang hajat walau tidak di musim kemarau. Melihat kondisi sungai yang kian hari kian mengenaskan, entah sampai kapan pemandangan-pemandangan itu terus bertahan. Bertahan untuk tetap menjadi tempat yang tercemar, atau bahkan lebih buruk lagi atau kembali menjadi tempat yang bersih seperti sedia kala. Tentu ini merupakan tugas dan peran serta dari pejabat dan masyarakat setempat yang peduli akan sungai bersejarah ini. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H