Mohon tunggu...
Santosa Pati
Santosa Pati Mohon Tunggu... -

orang kampung yang sekarang hidup dibelantara kota sebagai buruh pabrik, menulis sebisanya, masih ingin jadi petani

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Babak 1, Gadis Pesisir (Babad Pati dalam Reka Belajar Menulis)

8 April 2011   23:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:59 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_100114" align="alignleft" width="249" caption="Ayahnya tak berharap menjadi Ruyung Wulan, biarlah menjadi apa adanya"][/caption] Angin kering diujung kemarau pagi itu menampar-nampar pipi merah jambunya, sebagian menyibak-nyibak rambut panjangnya. Nampak sekali beda kulit dan rambut terawatnya diantara teman sepermainannya, seperti pagi-pagi biasanya, hari itu Dewi Ruyung Wulan bermain berlari-larian di sepanjang pesisir, sampai nanti biyung embannya memanggilnya. ......... Di Pendopo Kadipaten Carang Soko, sang adipati Puspo Handung Joyo , bapaknya Dewi Ruyung Wulan sedang kedatangan tamu dari kadipaten sebrang, dua kadipaten itu dipisah oleh sungai juwana, dari sungai Juwana ke selatan berbatas dengan kab. grobogan saat itu menjadi wilayahnya Kadipaten Parang Garuda, sedangkan sebelah utara sungai sampai pesisir laut jawa adalah wilayah Kadipaten Carang Soko. Nampaknya pagi itu adapati Puspo Handung Joyo dan tetamunya terlibat pembicaraan yang serius, sesekali alis matanya yang tebal itu bergerak-gerak, kelihatan bahwa umur adipati itu semakin tua. Selepas tetamunya pergi, Gusti Adipati memanggil kanjeng garwa, beberapa kali adipati itu menghela nafas sebelum berbicara. " Sibu, itu tadi utusan Adipati Parang Garuda, utusan dari kanjeng Adipati Yudho Pati " " Terus apa keperluannya kakang, sedang ini wilayah perdikan dan tidak dibawah wilayah Parang Garuda " berkali-kali pria agung itu menarik nafas panjang, sebelum akhirnya menceritakan apa keperluan tamunya itu kepada istrinya, keduanya nampak semakin tua, ada diam yang panjang sebelum keduanya berpisah. Sang Adipati berselonjor dan berbantal tangan di kursi panjang beranda depan, masih terlihat kemuraman di wajahnya, sang istri duduk diam di lincak belakang dapur, tak bergerak bak patung. Dari jauh dilihatnya permata hati buah cintanya dengan sang Adipati berjalan digandeng biung embannya, wanita desa yang mengabdi kepadanya sejak Ruyung Wulan terlahir, tetes-tetes air tak terbendung dari matanya, nafasnya tersengal-sengal, sejenak kemudian dia tumbahkan kegundahannya dalam tangis yang terbendung. ......... Malam itu sambil mengelus-elus rambut anaknya, nyai Adipati, bercerita " Nduk tadi siang ada tamu dari sebrang yang melamarmu " " Melamar itu apa mak " " Melamar itu, seseorang lelaki yang menginginkanmu mendampinginya, seperti emak dan bapakmu" " ooo, siapa mak orangnya ?" Seperti ada sembilu tajam yang menusuk dada nyai Adipati, demi didengarnya tanya Ruyung Wulan, dia tak mampu menjawabnya, dibenamkan kesedihannya dalam diam yang panjang, sampai anaknya tertidur, tak terbersit di benaknya dan benak anaknya sesuatu yang bakal terjadi diesok hari, tentang kekalahan, kemenangan, kelahiran, kematian dan lain-lain kehidupan terseret pertanyaaa anaknya itu. Nuwun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun