Sudah lebih dari 3 bulan, penulis tidak posting tulisan di rumah sehat kita -Kompasiana. Bukan mau cari-cari alasan, tapi mood menulis jadi agak berkurang semenjak akses ke Kompasiana mengalami hambatan. Dalam jangka waktu 3 bulan itu, ada banyak kejadian yang penulis alami yang patut untuk dibagikan kepada para pembaca sekalian. Salah satunya kenangan tatkala penulis ikut menjadi peserta pelatihan manajemen stres di minggu pertama Desember 2013 di Jakarta.
Kaget, malu, dan tidak menyangka, begitulah kesan awal begitu penulis menerima surat tugas untuk menjadi peserta manajemen stres dari kantor tempat penulis bekerja. Apalagi datang ledekan dari rekan-rekan kerja bahwa hanya pegawai “terpilih” dan “berpotensi stres” saja yang berhak ikut pelatihan seperti itu. Penulis sempat mengiyakan dalam hati, mengingat usul penulis untuk pindah antar instansi kandas di tengah jalan karena ketiadaan izin/persetujuan dari instansi asal.
Tapi penulis segera menafikan pikiran negatif itu dan mencoba untuk berpikir positif. Mungkin target jam pelatihan belum penulis penuhi, boleh jadi atasan memberikan rehat kepada penulis untuk lepas dari rutinitas kerja yang cukup padat, atau yang paling masuk akal karena skor tes EQ (Emotional Quotient) dan stamina level yang pernah penulis ikuti belum begitu memuaskan.
Hari pertama pelatihan, kesan kaku dan tersiksa yang biasanya dialami dalam pelatihan langsung sirna. Hal itu terjadi, berkat sikap para instruktur “HR Excellency” yang bersahabat dan suasana kocak yang dibangun di setiap sesi pelatihan, terutama dari Bung Anthony Dio Martin - instruktur utama – yang kerapkali memberikan joke dan tayangan yang memancing tawa dan senyum lebar para peserta.
Bung Martin, yang terkenal dengan salam khasnya, “salam antusias” juga berulangkali mengingatkan bahwa antusiasme adalah induk dari usaha, dan tanpa antusiasme tidak banyak hal besar yang bisa dicapai, sambil mengutip pendapat terkenal Ralph Wald Emerson, “Enthusiasm is the mother of effort and without it nothing great was ever achieved.”
“Anda adalah apa yang Anda pikirkan setiap hari , dengan siapa Anda bergaul setiap hari, dan apa yang Anda baca setiap hari,” begitu Bung Martin mengingatkan sekaligus mengobarkan semangat para peserta. Beliau memberi contoh pengalaman pribadinya tatkala berambisi menelurkan sebuah buku psikologi.
Caranya, bayangkan Buku EQM (emotional quality management), buah karyanya dipajang di toko buku, dibaca dan menginspirasi banyak orang yang membacanya. Bayangkan pula hal tidak enak, seandainya setelah bersusah-payah tapi buku itu tidak juga diterbitkan. Hal itu, akan terus mengobarkan semangat menulis dan dengan hati penuh gelora akhirnya buku EQM itu betul-betul terwujud di tahun 2003. Itulah yang dimaksud dengan Hukum Tarik-Menarik yang diperkenalkan oleh Rhonda Byrne dalam bukunya “The Secret” (2006), yang intinya bahwafokus pada pikiran/cita-cita Anda dan lambat-laun cita-cita yang Anda pikirkan tersebut menjadi kenyataan.
Di dalam buku “The Secret” dijelaskan, hukum tarik-menarik sebagai hukum alam yang menentukan keutuhan, keteraturan alam semesta dan kehidupan pribadi kita melalui proses "kemiripan menarik kemiripan." persis seperti yang kita pikirkan dan rasakan, frekuensi yang bersangkutan akan dikirim ke alam semesta yang menarik kembali ke arah kita dengan keadaan pada frekuensi yang sama. Misalnya, jika Anda memikirkan pikiran-pikiran marah dan merasa marah, Anda akan menarik kembali kejadian dan keadaan yang menyebabkan Anda merasa marah lagi. Sebaliknya, jika Anda berpikir positif dan merasa baik, Anda akan menarik kembali peristiwa positif dan keadaan baik kepada Anda (Sumber : Wikipedia.org).
Ohya, ada bagian menarik, tatkala penulis membaca bagian prolog di buku “EQM, Refleksi, Revisi, dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi” yang dibagikan kepada setiap peserta pelatihan, berikut kutipannya secara utuh :
“…ada kisah inspiratif tentang dramawan besar Yunani-Euripides. Euripides ditertawakan oleh koleganya karena dia membutuhkan waktu 3 hari hanya untuk menulis 3 baris saja! Temannya mengejek dan berkata, “Dalam waktu 3 hari, Euripides, aku bisa menulis 500 baris!” Namun dengan tenang, Euripides kemudian berkata, “Akan tetapi, 500 baris yang Anda tulis akan mati dan dilupakan dalam 3 jam, sedangkan 3 baris yang saya tuliskan akan hidup terus untuk selama-lamanya!”
Penulis yakin, banyak kompasianer yang mempunyai kapasitas untuk memposting satu tulisan tiap hari. Begitupula, banyak kompasianer yang hanya sempat posting tulisan satu tulisan tiap minggu, satu tulisan tiap bulan, bahkan satu tulisan setelah 3 bulan seperti penulis, he…3x. Tapi jangan dianggap bahwa kompasianer tipe begini adalah kompasianer “pelit” posting yang hanya menunggu ilham/inspirasi dulu baru menulis. Tentu ada pertimbangan lain, misalnya tugas yang lebih diprioritaskan dari masing-masing kompasianer.
Akhirnya, penulis tutup postingan ini dengan mengambil pepatah penuh makna, “Sebuah pensil yang tumpul seringkali lebih baik dari pikiran setajam apapun.” Hal itu terbukti dengan postingan ini, memang lebih efektif untuk segera menuliskan apa yang barusan dialami dan dirasakan ketimbang ditunda-tunda. Karena pikiran manusia punya keterbatasan untuk mengingat dalam waktu lama. Semoga para pembaca memaklumi, bila reportase ini terasa kurang greget karena cukup lama sudah mengendap di benak penulis. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H