Mohon tunggu...
Santorini
Santorini Mohon Tunggu... -

pelaku wisata

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Rasa Enak Tak Pernah Kokoh

15 September 2015   04:19 Diperbarui: 15 September 2015   04:19 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat review atau paparan soal rasa banyak tersaji. Bahkan penilaian-pun disematkan lewat angka.Terlalu banyak yang luar biasa hingga rasa enak yang dikabarkan justru tak diterima nalar.
Jagad kuliner semakin gemilang, zona ibu –ibu atau remaja putri kini telah menjadi lahan subur tidak saja untuk diterjuni, namun juga dikomentari tak jarang dicaci. Sebuah grup sosial media dengan anggota fantastis hingga lebih dari 100 ribu penghuni, membaiatkan diri untuk urusan ‘goyang lidah” dengan nama Malang Kuliner (MaKul).
Malang sebagai sebuah kota memang telah lama menjadi magnet, tentu berbincang tentang makanan enak di kota ini bagaikan sumur yang tak akan habis ditimba. Tidak saja ragamnya namun keunikan-keunikan yang menyertai sebuah hidangan pun banyak kita jumpai.
Maka tak heran grup MaKul begitu riuh sebagai ajang diskusi, berbagi info, promosi serta review dari para anggotanya terhadap sebuah produk kuliner.
APAKAH pizza ter-enak di Malang, apakah pecel ter-sedap, warung kopi ter-cozy, serta permintaan saran begitu deras di wall grup tersebut.
Dan yang melahirkan tanya adalah saat saran tumpah bak air bah terhadap tempat atau kuliner yang sedang diburu. Penilaian disematkan dan tentu enak adalh juaranya.
Lantas kalau semua, aplaus nikmat serta enak dengan score tertinggi, kuliner di Malang jadi tidak luar biasa.

Pelabelan “enak” itu tetap dia berikan, meski untuk rasa yang memang biasa-biasa saja. Karena memang bad review di haramkan di grup tersebut.
Maka kata “enak” seolah redup bila dibingkai sebagai ”pujian” ke-luar biasa-an sebuah rasa, bahkan nilai 10/10 yang begitu rimbun dalam review kuliner di Malang hanya semacam propaganda bombastis, hingga “enak” pun menjadi basa-basi belaka. Yang rutin, biasa, dan karenanya, jadi banal.
Apakah penilaian ”enak” atau ”enak sekali” itu salah? Tentu tidak. Terutama jika kita menyadari bahwa itu ”hanya” grup media sosial yang gratis. Apa pun, yang ditulis asal sesuai aturan pihak admin, ”dihalalkan”.
Apalagi, kita berada di zaman ketika para netizen atau penghuni dunia maya mendapat panggung , maka gerakan apa pun memang bisa berubah jadi mantra.
Masalahnya, pelabelan ”enak” dan ”enak sekali” dengan score sempurna itu sulit untuk diterima akal. Dengan kata lain, telah terjadi ”pemencongan” arti kata. Ini akan jadi problem ketika kita mencoba mencari batas atau klasifikasi antara yang biasa dan luar biasa, atau super sekali. Karena bisa jadi, makna ”enak” atau ”enak sekali” sudah ter-downgrade ke ”amat biasa” atau ” biasa sekali”.
Masalah lain, keterpukauan ”enak” pada ” kuliner” justru menimbulkan problem tersendiri, karena ini masuk wilayah “seni” yang tentu tak mengenal penilaian absolut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun