Minggu kedua bulan ini, kita diramaikan oleh statemen politis yang disampaikan oleh tokoh-tokoh politik bangsa ini. Banyak pengamat mengatakan sebagai pemanasan awal pesta demokrasi yang akan berlangsung tahun 2019. Apabila dikaji lebih dalam, tujuan akhir dari dinamika politik ini kami menyebutnya sebagai perebutan pengaruh partai politik berbasis masa Islam.
Sejarah Bangsa Indonesia berawal dengan adanya momentum gerakan Boedi Oetomo (1908), Sumpah Pemuda (1928) dan Kemerdekaan (1945) merupakan satu kesatuan puncak perjuangan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momentum kedua adalah pada masa memasuki model demokrasi terpimpin pada masa orde baru. Periode ini memberikan landasan kebijakan pada pembangunan bangsa Indonesia.  Masa orde baru menyisakan dampak yang terakumulasi dan kejayaan orde baru runtuh pada era reformasi. Daya tahan ekonomi dalam negeri tidak mampu menahan gejolak keuangan global. Momentum ini menjadi periode terburuk dalam catatan sejarah perkembangan bangsa. Era yang penuh dengan gegap gempita tetapi akhirnya loyo dalam penguatan ketahanan ekonomi dan reformasi di bidang hukum. Era yang penuh dengan kebebasan ini berakhir dengan pertikaian politik dari masa ke masa. Genap 20 tahun sudah era reformasi. Partai-partai politik tumbuh sebagai hasil buah reformasi. Tatanan politik  belum menemukan formasi terbaik untuk kemajuan bangsa ini. Hiruk pikuk politik masih berlangsung dan ekonomi Indonesia belum cukup kuat dan reformasi bidang hukum masih belum berjalan sebagaimana mestinya.Â
Dalam minggu terakhir ini, hiruk pikuk politik kembali diramaikan oleh  permainan kata-kata saling menuding dan memojokan pihak lawan. Tidak banyak yang berubah dalam tatanam demokrasi kita. Konstestasi politik ini merupakan siklus politik yang berulang. Kita tidak banyak belajar dari pemilu ke pemilu. Pertarungan yang sebenarnya seharusnya menghasilkan persaingan kualitas kepemimpinan yang lebih baik dan sistem demokrasi yang lebih tinggi martabatnya. Yang terjadi justru, kepentingan jangka pendek pihak-pihak yang haus kekuasaan untuk mendapatkan kedudukan. Strategi yang digunakan terkadang dengan  cara yang tidak benar.  Namun, kita dapat membedakan, mana tipe pemimpin yang memiliki cita-cita dan pemimpin yang hanya bercita-cita. Padahal kita punya pemimpin-pemimpin yang berintegritas untuk kemajuan bangsa. Namun, mereka tersandera oleh kelompok-kelompok pragmatis yang hanya memikirkan kepentingan sesaat dan kepentingan kelompok tertentu.Â
Pasca reformasi, tumbuh beberapa partai yang berbasis masa  Islam. Hal yang mau kami sampaikan kepada publik bahwa pemilihan umum (pemilu) tahun 2019 sesungguhnya merupakan pertarungan partai-partai yang berbasis masa Islam. Pertarungan partai berbasis masa Islam secara substansi merupakan hal yang jauh lebih penting dari pemilihan presiden.  Kenapa ? karena ini merupakan indikator tatanan politik bangsa ini. Lalu, kearah manakah dinamika politik partai-partai berbasis masa Islam ?
Melihat sejarah perkembangan partai-partai berbasis masa  Islam pada pemilihan umum sejak tahun 1955 sampai tahun 2014. Pada pemilu tahun 1955 Partai NU dan Partai Masyumi memiliki elektibilitas tiga tertinggi setelah PNI. Hal ini menunjukan rupa partai berbasis masa Islam di Indonesia dalam sistem demokrasi. Kita dapat membandingkan dengan kelompok nasionalis dan partai komunis saat itu dan dengan  partai-partai lainnya yang memilih untuk berada dalam kelompok alirannya masing-masing.  Pada pemilu selanjutnya, partai yang berbasis masa Islam mengalami dinamika yang kurang menguntungkan. Pada era pasca reformasi menjadi momentum kedua tumbuhnya partai-partai berbasis masa Islam.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang satu ini mulai masuk dalam pemilu diawali dengan nama Partai Keadilan pada tahun 1999 dengan perolehan suara 1,36 persen. Partai PKS konstan di sekitaran 7 persen di 3 kali periode yang terakhir. Partai Kebangkitan Bangsa cenderung mempimpin di level partai berbasis masa Islam kecuali periode pemilu 2009. Partai yang berbasis masa Nahdatul Ulama ini masih belum mencapai nilai maksimal seperti partai NU di tahun 1955. Partai Amanat Nasional cenderung stabil di angka 6 sampai 7 persen di tiap periode pemilu.
Apabila kita bandingkan data pemilu 1955 dengan pemilu-pemilu pasca reformasi, partai-partai berbasis masa Islam tidak dominan dalam pencapaian elektoralnya. Basis masa Islam tidak sejalan dengan orientasi politik konstituennya apabila dilihat dari perolehan suara. Hal ini dapat disebabkan  faktor internal partai atau  kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi yang semakin meningkat.  Landasan berpikir ini menjadi tantangan bagi partai-partai berbasis masa Islam di pemilu legislatif 2019 nanti. Apakah akan ada rekonsiliasi atau saling bertarung untuk menjadi yang terbaik.
Dari sisi perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, penyederhanaan partai merupakan pilihan yang lebih sesuai guna membangun tatanan politik nasional dan tatanan kehidupan masyarakat. Dalam salah satu pidato Ir. Soekarno mengatakan bahwa, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Catatan sejarah ini sepertinya tidak bermakna bagi kelompok yang tidak memiliki cita-cita untuk kemajuan bangsa ini. Kita seharusnya belajar dari kegagalan fondasi demokrasi di orde lama, belum sempurnanya orde baru dan kegagalan orde reformasi dalam mencapai tujuannya. Ditengah tantangan global saat ini, apakah kita masih saja saling bertikai ? Lalu apa sebenarnya yang menjadi tujuan dinamika politik di tahun 2018 ini menjelang pileg dan pilpres tahun 2019 ?
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tujuan Nasional Negara Republik Indonesia tertuang dalam Alinea Keempat, disebutkan bahwa "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...". Politik seharusnya menjadi jembatan guna pencapaian cita-cita bangsa. Â Ditengah persaingan global, apapun komponen bangsa yang ingin membangun republik secara sendiri-sendiri tanpa melibatkan komponen bangsa lainnya, mereka tidak akan mampu membangun secara significant. Kodrati Bangsa Indonesia memiliki keberagaman suku, bahasa, budaya, adat istiadat. Ikatan keberagaman ini telah menjadi satu kekuatan yang diikat dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Â
Dalam konteks Ketahanan Nasional bahwa strategi mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan faktor-faktor internal bangsa dengan memperhatikan kodisi eksternal bangsa. Tantangan global yang semakin tidak menentu arah diatara lain perubahan iklim, krisis pangan, krisis sumber daya alam serta adanya revolusi digital telah menjadi ancaman bagi seluruh bangsa di dunia. Dengan memperhatikan kondisi ekternal dan  posisi strategis Indonesia dalam menghadapi tantangan global saat ini. Posisi strategis ini akan berguna bagi kemajuan bangsa apabila tatanan politik nasional dapat tumbuh sesuai dengan jati diri bangsa yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Terlepas dari hirup pikuk politik saat ini, sudah saatnya elit partai secara bersama-sama membangun satu kekuatan untuk Indonesia. Demikian pula, partai-partai berbasis masa Islam bersaing menjadi yang terbaik atau melakukan konsolidasi dengan rekonsiliasi. Sistem kepartaian lebih disederhanakan dengan menerapkan ambang batas parlemen 7,5 persen. Dengan penetapan ambang batas ini, partai yang berbasis masa Islam akan mendapatkan konsolidasi suara yang significant di pemilu kedepan. Hal ini akan menghasilkan kaderisasi partai dan tatanan politik nasional yang semakin baik. Kesimpulannya adalah kemajuan Bangsa Indonesia dilandasi oleh perbaikan tatanam politik dalam sistem demokrasi yang mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia dan tatanan politik kepartaian yang semakin baik.