Rabu sehabis maghrib saya menyempatkan diri berkunjung ke kedai Cangkir Laras. Di sana sudah ada beberapa anggota Bolang yang sedang berbincang asyik sembari menikmati seporsi lontong sayur atau soto dipadu minuman hangat yang membuat udara malam tak lagi menggigil dan senyap.
Saya yang terlambat datang langsung disambut semangkok soto hangat dan wedang uwuh buatan Mas Sawir Wirasto, seorang seniman lukis ampas kopi yang juga pemilik usaha kedai Cangkir Laras. Bagi mantan mahasiswa sastra UM seperti saya lokasi kedai ini begitu mudah ditemukan.
Dari taman kunang-kunang kita tinggal masuk ke jalan Semarang belok kearah kanan sampailah di Jl. Magelang No. 11, Sumbersari, Lowokwaru, Kota Malang, tempat Mas Sawir meramu kopi janda genitnya. Ah, saya jadi ingin bercerita tentang kopi janda genit Mas sawir. Tapi nanti saja. Saya masih ingin bercerita tentang sisi yang lain.
Kedai Mas Sawir tidak hanya mudah dicari lokasinya namun juga murah makanannya. Hanya dengan 6K kita sudah bisa menikmati semangkok soto atau seporsi lontong sayur. Tentu ini sangat membantu para mahasiswa yang seringkali kelimpungan saat tak ada uang untuk makan.
Tak hanya sekedar kedai biasa, pengunjung Cangkir Laras seakan diajak menyelami buku-buku dan menikmati galeri lukisan dari ampas kopi hasil goresan Mas Sawir. Sejatinya melukis bisa menggunakan media apa saja namun ampas kopi ternyata mampu menjadi simbol transformasi budaya di pedesaan yang biasa melukis rokok dengan ampas kopi. Aktifitas ini biasa disebut nyethe.
Terinspirasi dari ritual masyarakat agraris yang sehabis dari sawah atau ladang suka berkumpul di kedai kopi dipadu dengan kreatifitas wong ndeso yang suka membatik maka lahirlah lukisan-lukisan dari ampas kopi ini. Sudah banyak lukisan Mas sawir yang terjual dan menjadi koleksi indah galeri pribadi.
Lukisan-lukisan dari cethe ini lebih memfokuskan pada emosi pribadi dan kegelisahan yang dialami Mas Sawir. Unsur emosi ini membawa kita pada kesadaran batin dan kerinduan yang tak terbatas akan sebuah perubahan sosial yang terjadi di sekitar kita.
Kedai kopi Mas Sawir cocok dijadikan sebagai tempat nongkrong sambil berdiskusi dari hal receh sampai masalah berat. Dari masalah rumah tangga sampai masalah negara wakanda. Haha.. tak salah karena pemilik kedai juga terjun di dunia sosial. Mas Sawir berseloroh kegiatan sosial yang ia lakukan saat ini bisa jadi 'kutukan leluhur'. Aktifitasnya di luar tak jauh beda dari Gus Miftah, Mbahlek nya dari keluarga Ponorogo.