Bicara tentang ikan nila membuat saya teringat akan cerita fable Pakde Sokrates. Dongeng Yunani kuno ini bercerita tentang persahabatan antara nila merah dan kecebong dalam sebuah kolam. Nila merah tidak percaya saat kecebong mengatakan ia memiliki kaki kecil dan akan tumbuh menjadi katak dewasa. Seiring waktu mereka tumbuh bersama. Kecebong telah tumbuh menjadi katak dan keluar meninggalkan kolam. Ikan nila merah pun tumbuh dewasa dan tak pernah lagi melihat sahabatnya.
Sepeninggalan katak, nila merah sangat kesepian dan merindukan sahabatnya. Hingga suatu hari katak datang kembali ke kolam untuk mengunjungi ikan nila. Mereka senang sekali akhirnya bisa bertemu setelah sekian lama terpisah. Katak menceritakan pengalamannya di darat. Bagaimana ia bisa bertemu dengan binatang-binatang darat lain yang menakjubkan. Ada sapi, ayam, gajah dan banyak lagi. Ikan sangat takjub mendengarnya. Ia ingin mencoba naik ke darat dan merasakan pengalaman yang sama. Namun sayang saat melompat ke darat ia kehabisan nafas dan katak mendorongnya ke air lagi sehingga ia selamat.
Di kolam, ikan nila pun belajar memahami bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa kita lawan. Namun bukan berarti kita boleh diam saja. Ia akhirnya mengasah kemampuan berenang dan bertahan hidup di air. Ia tak lagi memaksakan diri naik ke darat namun ia memaksimalkan potensi kemampuannnya tanpa harus meninggalkan habitat.
Di sisi lain semangat ikan nila yang mampu mengoptimalkan diri tanpa harus keluar meninggalkan kampung habitatnya menjadi sesuatu yang patut diapresiasi. Banyak orang desa skeptis dengan lingkungan sekitarnya dan lebih silau dengan dunia luar. Warga kampung Bakalan Krajan justru mampu merintis ekonomi kreatif dengan memaksimalkan segala potensi yang ada.
Melalui budidaya nila bioflok mereka berusaha mewujudkan mimpi bahwa pandemi  bukan berarti kreatifitas dan inovasi terhenti. Menyerah pada kondisi bukanlah pilihan yang tepat untuk saat ini. Mungkin dalam perjalanannnya tidak mudah. Masalah-masalah internal kerap muncul namun mimpi yang sama mampu menyatukan kaum muda dan para sesepuh untuk saling bekerjasama menuju desa mandiri.
Mengapa warga memilih budidaya ikan nila? Alasannya mudah. Ikan nila masih dan akan terus menjadi primadona yang mampu mendongkrak ekonomi lokal. Selain itu mereka mampu dan memahami konsep pembudidayaan ikan nila mulai dari proses hulu sampai hilir mulai dari pembibitan, pemeliharaan, sampai pemasaran. Kita bisa pesan ikan nila dari yang mentah sampai yang matang. Bahkan produk olahan ikan seperti krupuk dan abon pun sudah dipasarkan. Benar-benar paket komplit. Ini yang saya suka.
Selain itu kita juga bisa lho ikut berinvestasi dan memiliki kolam sendiri. Anak-anak muda kampung Slilir siap diajak bekerjasama mulai membuatkan kolam, mengajari cara merawat sampai panen. Bahkan jika kita kesulitan dalam memasarkan mereka siap membantu. Warga Slilir menyediakan beberapa paket investasi dengan menyesuaikan budget kita. Asyik kan ngobrolin investasi sambil makan ikan bakar dan sambal bawang?
Beberapa waktu yang lalu kami dari Bolang Kompasiana Malang baru saja panen perdana ikan nila. Menyaksikan ikan-ikan berwarna merah menyala berkejaran di dalam biovlog adalah hiburan saat pandemi yang entah sampai kapan berlalu. Kembali pada dongeng fable Pakde Sokrates, ikan nila tak harus keluar dari air untuk menjadi berdaya. Masyarakat kampung Slilir tidak perlu keluar kampung untuk membuktikan dirinya menjadi top nasional. Dengan semangat belajar dan inovasi dari kisah katak yang mau belajar hal-hal baru, ikan nila dalam biovlog adalah kisah cerita manis untuk anak cucu nanti.