Indonesia memiliki kekayaan budaya yang beragam. Kearifan local berfungsi menjaga keharminisan social maupun keharmonisan alam. Melalui kearifan social aspek etika atau moral individu dapat dikuatkan. Manusia tidak dapat terlepas dari oengaruh tempat mereka hidup, hubungan timbal balik dan keterkaitannya dengan nilai filosofis. Serta kondisi social, tradisi, sejarah, dan keadaan alam memberi pengaruh pada sikap dan cara pangan masyarakat (Sularso, 2016).
Kearifan local merupakan suatu interaksi antara tata nilai dalam ranah social, budaya, ekonomi, agama, adat istiadat dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya, dengan sifatnya yang dinamis, subtainable dan berkembang secra turun temurun (Taufan Madiasworo, 2009). Kerifan local tercemin dari perilaku mereka yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap lingkungan alam, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya (Naidah Naing, dkk, 2009).
Revitalisasi adalah suatu proses, yaitu siatu cara memperbaiki vitalitas (restore the vitality) yang dapat memberi kehidupan baru atau to impart new life, dan proses itu harus menghasilkan suatu bentuk sebagai sebuah teks. Revitalisasi adalah proses menumbuhkan kembali gaya hidup, ruh, gairah, atau kekuatan (Kumarudin dan Putut, 2008). Revitalisasi local wisdom adalah usaha menghidupkan atau membangun kembali nilai-nilai budaya local yang pernah ada dan hidup sebagai tradisi bangsa.
Jepara merupakan kota yang terletak di pesisir pantai utara pulau Jawa. Sebagian besar mata pencaharian warga Jepara adalah pengrajin kayu dan ukiran. Mengingat Jepara adalah kota yang terletak dipesisir pantai tak sedikit pula warga Jepara yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
Para nelayan Jepara memiliki sebuah tradisi setiap tahunnya sebagai bentuk rasa Syukur kepada Allah atas nikmat yang telah Allah berikan kepada para nelayan. Perayaan itu dilaksanakan setiap tanggal 8 Syawal yang di sebut sebagai "Pesta Lomban" atau orang Jepara menyebutnya "Bodo Lomban". Pada perkembangannya tradisi pesta lomban para nelayan ini mengundang perhatian masyarakat bahkan sampai luar Jepara seperti masyarakat kabupaten Kudus, Demak, dan Pati.
Saat perayaan pesta lomban berlangsung, semua masyarakat berbondong-bondong ke Pantai Kartini. Pesta lomban di mulai dengan upacara pelepasan kepala kerbau atau masyarakat menyebutnya larung kepala kerbau di TPI (tempat pelelangan ikan) dipantai desa Ujung Batu. Kemudian dilajutkan dengan lempar-lemparan ketupat atau disebut sawat-sawatan kupat. Larung kepala kerbau dan sawat-sawatan kupat merupakan kepercayaan lama dan bukan islam, namun disitu telah terjadi proses islamisasi (Iin Afriyanti, 2011).
Nama jepara berasal dari kata "ujung" dan "para". Kata Pra adalah pendekatan dari "pepara" yang maknanya berdagang keman-mana. Sementara menggunakan kata Ujung karena jepara terletak di tepi pantai. Jepara menyimpan sebuah tradisi yang dirayakan setiap tanggal 8 Syawal yaitu tradisi pesta lomban.
Masyarakat jepara menyebut pesta lomban sebagai "bodo lomban" atau " bada kupat" karena pada saat itu masyarakat merayakannya dengan memasak kupat (ketupat) dan lepet yang di sajikan dengan masakan lain seperti opor ayam, rending daging, atau yang lainnya. Istilah lomban berasal dari kata "lomba-lomba" yang berarti masyarakat nelayan saat itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut yang seperti sekarang masih di laksanakan pada pesta lomban, namun sebagian mengatakan bahwa kata-kata lomban berasal dari kata "lelumban" atau bersenang-senang.
Pesta lomban juga sering di sebut sebagai "sedekah laut" karena merupakan puncak acara dari pecan syawalan. Pesta lomban telah ada sejak 1 abad yang lampau. Berita ini bersumber dari tilisan tentang lomban yangdimuat dalam kalawarti/majalah berbahasa melayu bernama Slompret Melayu yang terbit di Semarang pada paruh ke dua abad XIX edisi tanggal 12 dan 17 Agustus 1893 yang menceritakan pesta lomban saat itu ternyata tidak berbeda dengan apa yang dilaksanakan masyarakat sekarang.
Beberapa Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lomban menambah kuatnya tradisi yaitu bagi masyarakat sekarang ini, lomban sebagai ucapan syukur kepada Allah SWT meskipun di satu sisi sebagai pelestarian budaya lama dengan mengaitkan rasa syukur tersebut sing mbaurekso laut, karena setahun penuh telah memberikan penghidupan kepada masyarakat nelayan sekaligus pengharapan agar tahun berikutnya hasil yang di peroleh mengalami peningkatan. Bahkan ada kepercayaan bahwa jika tradisi ini ditiadakan maka akan timbul bencana yang besar di Jepara khususnya, yang akan menimpa masyarakat nelayan.
Perang ketupat yang menyertai upacara tradisional sedekah laut tersebut memiliki makna simbolik, yaitu menggambarkan situasi masa lalu ketika Ratu Kalinyamat (penguasa Jepara yang melegenda ) mengadakan ekspedisi ke Malaka dan di hadang oleh bajak laut hingga terjadi peperangan. Dalam atraksi tersebut digambarkan bahwa lempar-melempar ketupat dalam masyarakat nelayan menggambarkan serangan bajak laut terhadap bupati yang digambarkan sebagai perahu Ratu Kalinyamat. Sesuai dengan rangkaian kegiatan lomban tersebut, dengan rangkaian kegiatan lomban tersebut tampak bahwa tradisi ini dipelihara masyarakat dan mempunyai keterkaitan dengan unsur keberanian Ratu Kalinyamat dalam berperang, terutama mengusir penjajah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H