Sebagai wanita menikah dan memiliki anak, tentu kita boleh bercita-cita ingin tetap awet muda dan selalu bahagia. Tapi, menyimak kegaduhan tentang tren childfree, membuat saya merenung. Sebenarnya, ada banyak hal yang bisa membuat wanita stres sehingga merasa kurang bahagia. Mulai dari masalah yang besar, hingga masalah remeh seperti handuk basah di atas kasur.
Lelah mengurus anak sendirian dan pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya memang sangat menguras energi dan emosi seorang istri. Belum lagi jika suami merasa kewajibannya hanya mencari nafkah dan tidak pernah membantu istri. Kesabaran istri semakin diuji dengan uang belanja yang pas-pasan. Bisa membeli lipstik setahun sekali saja sudah beruntung. Karena memikirkan menu makan tiga kali sehari dengan menu variatif dilengkapi protein hewani, protein nabati, sayur, dan buah sungguh tidak mudah.
Jadi menurut saya, kebahagian seorang wanita sebenarnya tidak berkurang hanya karena sakitnya melahirkan atau kesusahan membesarkan anak. Meskipun kita punya banyak anak, bahkan dengan jarak berdekatan, kita kaum wanita tetap bisa awet muda dan bahagia dengan syarat: punya uang banyak. Sampai sini paham kan?!
Tapi bukankah di dunia ini tidak banyak wanita seberuntung Mama Gigi atau Nia Ramadhani? Justru jauuh lebih banyak wanita dengan ekonomi rendah tetap memilih untuk memiliki anak. Resiko penuaan dini serta bertambahnya beban hidup tidak jadi halangan bagi mereka. Ada juga wanita yang memilih memiliki keturunan karena tuntutan lingkungan maupun keluarga, karena kebiasaan di negara kita jika ada pasangan menikah yang belum memiliki momongan seringkali dijadikan sasaran kejulidan; ditakut-takuti dengan stigma mandul atau ancaman suami akan menikah lagi.
So, sebenarnya kebudayaan negara kita tidak memberi banyak ruang untuk para penganut childfree. Dan masyarakat Indonesia banyak yang menyadari bahwa manusia itu kodratnya harus melestarikan jenisnya dengan cara memiliki keturunan. Hal ini juga senada dengan perkataan Bapak Wakil Presiden bahwa manusia harus terus ada untuk mengelola bumi sampai hari kiamat.
Memilih untuk memiliki anak ataupun tidak memang merupakan hak individu. Namun, mengkampanyekan anti childfree juga merupakan hak individu. Bagi saya pribadi, orang yang memilih childfree dengan alasan seperti menghindari beban hidup; ingin fokus berkarir; khawatir tidak mampu membiayai; isu lingkungan; dll mungkin perlu merubah mindsetnya.Â
Ingat, kita semua lahir dari rahim seorang ibu. Kita semua ada di dunia ini justru karena ibu kita bukan penganut childfree. Orang tua telah merawat dan membesarkan kita dengan harapan kelak anaknya bisa menjadi generasi penerus keluarga dan bangsa. Maka, kita perlu meneruskan cita-cita mereka dengan tetap melahirkan anak-cucu untuk kehidupan masa depan. Orang tua kita pernah melewati berbagai kesusahan dalam membesarkan kita, maka sekarang adalah saatnya kita berada di posisi mereka.
Bagi para ibu, saya ingin mengajak semua untuk berpelukan dan saling menguatkan. Membesarkan anak memang tidak mudah. Tapi, percayalah bahwa kesusahan ini hanya sementara. Anak-anak kita akan tumbuh dengan cepat dan suatu saat mereka tidak akan lagi bergantung pada kita. Mereka akan hidup mandiri, bahkan nantinya merekalah yang akan menemani dan merawat kita di masa tua.
Bagi para calon orang tua, pahamilah bahwa memiliki keturunan itu sangat penting sehingga kita tidak perlu ragu. Apalagi di Abad 21 ini telah ditemukan teknologi yang disebut kontrasepsi. Kita bisa menunda memiliki anak atau mengatur jarak kelahiran anak untuk alasan kesehatan maupun kesejahteraan.Â
Akhir kata, jangan takut punya anak. Karena kita tidak tahu, bisa saja anak yang kita lahirkan dan besarkan nanti tumbuh seperti Mark Zuckerberg, Jerome Polin, atau bahkan yang lebih baik dari mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H