Ia menulis, menciptakan puisi-puisi tentang hujan dan cinta. Karyanya menjadi terkenal, menyentuh hati banyak orang yang pernah merasakan cinta dan kehilangan. Hujan menjadi metafora dalam setiap tulisannya, melambangkan harapan dan kenangan yang abadi.
Pada suatu sore yang basah, di bawah langit yang kembali menangis, Alya berjalan di taman kota. Tempat itu masih sama, dengan pohon tua yang berdiri kokoh, menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Dan di sana, di bawah payung biru yang familiar, berdiri Arka.
"Alya," panggil Arka dengan suara yang penuh kerinduan.
Alya terdiam, air mata bahagia mengalir di pipinya. Ia berjalan mendekat, dan dalam sekejap, mereka berpelukan di bawah hujan yang deras. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan mereka saat itu. Hanya hujan yang berbicara, menyatukan kembali dua hati yang pernah terpisah.
"Aku kembali, Alya. Seperti yang pernah kujanjikan," bisik Arka di telinganya. "Hujan ini selalu menjadi penghubung kita."
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kebahagiaan. Alya dan Arka kembali menghidupkan cinta mereka, menghabiskan waktu bersama di bawah rintik hujan. Hujan yang dulu membawa perpisahan, kini menjadi saksi cinta yang tak tergoyahkan.
Alya percaya bahwa hujan memiliki kekuatan ajaib. Setiap tetesnya membawa harapan, cinta, dan kenangan. Hujan bukan lagi sekadar air yang jatuh dari langit, melainkan simbol dari perjalanan hidup mereka yang penuh liku.
Di bawah langit yang mendung, Alya dan Arka berjalan beriringan, menikmati setiap momen yang mereka miliki. Mereka tahu bahwa hujan akan selalu menjadi bagian dari cerita mereka, mengingatkan mereka akan perjalanan cinta yang penuh warna.
"Alya, hujan ini adalah saksi cinta kita yang abadi," kata Arka sambil menggenggam tangan Alya erat.
"Ya, Arka. Hujan ini adalah kisah kita yang tak akan pernah pudar," jawab Alya dengan senyum bahagia.