Dewasa ini ramai diperbincangkan tentang pembekuan BEM FISIP UNAIR pada Oktober 2024 dikarenakan pemasangan karangan bunga satire untuk Presiden dan Wakil Presiden terbaru Indonesia. Hal tersebut memicu perdebatan dari berbagai pihak tentang kebebasan berpendapat dan peran manusia dalam dunia politik. Tujuan artikel ini adalah untuk meningkatkan kesadaran publik akan praktik politik yang saat ini sedang terjadi di negara Indonesia.
Karangan bunga satire yang ditujukan pada Presiden dan Wakil Presiden 2024 dianggap tidak sesuai dengan standar etika dan kultur demokrasi yang baik dan benar. Pihak dekanat juga ingin melindungi citra baik institusi dari perilaku yang dianggap negatif atau provokatif karena karangan bunga yang mengkritik secara langsung setelah dua hari pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dapat diinterpretasikan sebagai ancaman terhadap integritas akademik seperti yang ditegaskan oleh rektor UNAIR; untuk kritik sebaiknya disalurkan secara pribadi. Pengkritikan yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa tersebut juga dinilai terlalu kasar oleh sebagian masyarakat merunjuk pada permasalahan personal.
Pembekuan BEM FISIP UNAIR dianggap mematikan kebebasan berpendapat dan kreativitas mahasiswa. Karangan bunga satire yang disiapkan pihak BEM FISIP UNAIR Â merupakan salah satu cara mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi serta kritik terhadap kondisi di negara mereka khususnya bidang politik. Pembekuan tersebut juga bisa diartikan bahwa mahasiswa dilarang untuk berekspresi tentang isu-isu politis yang relevan dengan masa depan mereka. Hal ini juga bisa memperburuk hubungan antara civitas akademika serta mengganggu stabilitas internal institusi.
Padahal dengan ini masyarakat umum bisa tersadar dengan politik dinasti yang semakin mengikis demokrasi yang sudah melekat pada negara kita, yang jelas-jelas sudah berlandaskan UUD 1945 dan Deklarasi Universal HAM. Salah satu pasal DUHAM yaitu pasal 19 yang menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas".
Dampak dari kejadian ini adalah para mahasiswa takut akan menyuarakan pendapat mereka yang berbeda dengan pemerintah sehingga membatasi ruang diskusi yang sehat di area akademi, jika akademi membatasi kebebasan berpendapat hal tersebut bisa mengganggu ruang publik yang demokratis menjadi rendah serta hal ini menunjukkan jika institusi lebih memilih untuk menegakkan control daripada memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengeksplorasi ide dan pendapat yang menyebabkan rusaknya integritas akademi dan menurunkan kualitas pendidikan
Kasus pembekuan BEM FISIP UNAIR mencerminkan kompleksitas menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tata kelola organisasi mahasiswa. Dalam konteks ini, penting bagi mahasiswa untuk memahami bahwa menjaga demokrasi adalah tanggung jawab seluruh komunitas kampus, tidak hanya BEM, institusi juga harus memfasilitasi ruang untuk menyuarakan pendapat sehingga mahasiswa dapat melatih tata Bahasa dan cara berpendapat yang benar.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H