[caption caption="Arie Smit bersama Suteja Neka"][/caption]Buku berjudul Arie Smit Memburu Cahaya Bali karya Putu Wirata, Hartanto, Garret Kam (1996, hal. 15) menjelaskan Arie Smit sudah tinggal di Villa Sanggingan, milik Suteja Neka, semenjak bulan Juni tahun 1991. Semenjak menerima Anugrah Seni “Dharma Kusuma” dari Pemda Provinsi Bali pada tahun 1992, 14 Agustus, Arie Smit memutuskan tinggal seumur hidup di Villa Sanggingan. Arie Smit menggambarkan hubungannya dengan Suteja Neka bagaikan hubungan orang tua dan anak yang membimbing dan mengarahkan, juga memotivasi demi kemajuan kehidupannya.
Ayahnya adalah seorang saudagar keju bernama Johanes Smit. Ibunya bernama Elisabeth Ahling. Terlahir pada tanggal 15 April 1916 dengan nama Adrianus Wilhelmus Smit, Arie Smit sejak kecil sudah memperlihatkan ketertarikan akan keindahan alam dengan pemandangan penuh pesona warna - warni alami dan artistik. Hal ini yang membuatnya memilih sekolah seni, Akademi Seni Rupa di Rotterdam, Belanda. Semasa menempuh pendidikan di Rotterdam, ia berkenalan dan bersahabat dengan seorang anak Indonesia yang berkulit sawo matang. Kisah sahabatnya mengenai Indonesia, dengan pemandangan menakjubkan hutan tropis, pegunungan, lembah dan berbagai hewan daerah tropis menggugah hasratnya untuk mengunjungi Indonesia suatu saat kelak.
Belum tuntas pendidikan, ia memilih ikut dalam aktivitas wajib militer, dan bergabung pada tahun 1934 saat berusia 18 tahun dengan ketentaraan Belanda. Ia diberangkatkan pada tahun 1938 untuk bertugas di Hindia Belanda. Masa-masa tugasnya di Batavia terkait bidang litografi dan topografi membuatnya senang mengelilingi daerah dimana dia berada.
Perang yang pecah dengan Jepang pada tahun 1941 dengan invasi Jepang, membuatnya menjadi tahanan perang dan dikirim ke Thailand dan Burma. Sejenak kembali ke Indonesia, dan kembali bekerja pada bidang topografi, Arie Smit mengalami saat dimana Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 mengakui kedaulatan Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Arie Smit memilih menetap di Indonesia, menjadi warga negara Indonesia, dan mengajar Seni Grafis dan Litografi di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada tahun 1950 - 1956. Ia mulai memiliki ketertarikan terhadap pulau Bali, sebuah pulau kecil yang terkenal indah dan keunikan seni budaya, berdasar tutur ceritera para sahabat yang pernah berkunjung ke pulau Bali. Dengan semangat tinggi dan berbekal hasil penjualan dari pameran karya seninya di berbagai kota, seperti Jakarta, Plaju, dan Balikpapan, pada tahun 1956 Arie Smit berangkat menuju Bali. Tempat pertama dia mendaratkan kaki setelah berlayar adalah Buleleng. Dari sana ia bergerak menuju Kintamani, lalu ke Ubud.
Bentangan alam yang membuatnya terpesona, keindahan warna-warni alam di sekeliling, para petani yang menuntun sapi ke sawah untuk membajak, para perempuan menjunjung bakul nasi untuk sang suami, orang-orang yang mandi bersama di sungai, budaya yang sangat asri, penuh keramahtamahan, serta berbagai hasil karya seni lain, sungguh membuatnya terpesona.
Tahun 1960 Arie Smit diundang oleh Cokorda Agung Sukawati untuk menempati paviliun yang sebelumnya ditempati oleh Walter Spies di Campuhan, Ubud. Ia mulai mengajar melukis bagi anak-anak. Nyoman Cakra adalah beberapa murid pertama yang menerima bimbingan mengenai The Young Artist oleh Arie Smit.
Persahabatan Arie Smit dengan Pande Wayan Suteja Neka berawal pada tahun 1973. Saat itu Arie Smit menetap di Nyuh Tebel Karangasem, dan Suteja Neka berkunjung bersama sang istri, Ni Gusti Made Srimin.
“Bu Santi, tahukah makna persahabatan sejati? Bisa saling menguatkan dan berjalan dengan tulus…” Pande Wayang Suteja Neka bertutur tentang makna persahabatan beliau dengan sosok Arie Smit. “Persahabatan kami adalah karena adanya persamaan apresiasi terhadap kebudayaan. Budaya, khususnya seni, merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara, dikembangkan dan diwariskan bagi anak cucu, sehingga kita bisa memiliki roh, jiwa, semangat, taksu, dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari”.
[caption caption="Arie Smit bersama Suteja Neka"]