Hari ini tanggal 30 Maret 2023 adalah due date pengumpulan tugas Koneksi antar materi modul 2.3 tentang Supervisi berbasis coaching. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.15 Waktu Indonesia Bagian Barat. Saya telah membuat penggalan-penggalan vidio dalam aplikasi Clipchamp dan canva yang telah saya desain semenarik mungkin. Tapi beberapa hari ini jaringan internet di sekitar lingkungan saya kurang bersahabat. Cuaca yang hujan lebat dan petir, membuat saya selalu kesulitan menggabungkan, atau membuat kreatifitas dalam konten yang akan saya buat. Kesibukan tugas lain di sekolah dan pelatihan diluar Program Guru Penggerak membuat saya agak kewalahan dalam menyiapkan tugas-tugas Guru Penggerak. Stamina tubuh juga beberapa hari yang lalu mengalami penurunan drastis, sehingga mengakibatkan saya harus curi-curi waktu istirahat di sela-sela kesibukan yang luar biasa. Disinilah saya memahami akan pentingnya pengelolaan waktu sebaik mungkin. Mungkin ini yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara tentang Trilogi Pendidikan itu. Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, merupakan prinsip dasar bagi seorang guru dalam berperilaku baik terhadap moral dirinya maupun bagi murid-murid dan di tengah masyarakat. Selama ini tidak terfikir oleh saya atas jawaban mengapa lambang dari Sistem Pendidikan kita berlogo biru dan bertulisan Tut Wuri Handayani. Dan hari ini, saya menjadi lebih memahami filosofi Ki Hadjar Dewantara tentang maksud menuntun murid dalam menggali potensinya untuk menuju keselamatan dan kebahagiaan baik bagi dirinya maupun masyarakat. Sebagai seorang pemimpin pembelajaran, tentulah seorang pendidik harus menyadari bahwa dengan menjadi model atau teladan (Ing Ngarso Sung Tulodo), seorang pendidik haruslah bijak dalam mendisiplinkan dirinya dengan memberi contoh budaya positif pada lingkungan di sekitarnya. Kekuatan seorang pendidik dalam mendidik muridnya bukanlah hanya terletak dari kompetensi akademik yang ia raih, melainkan lebih kepada kompetensi sosial, kepribadian maupun kompetensi pedagogik yang ia miliki. Kompetensi ini sangat berkaitan erat dengan Kompetensi Sosial Emosional (KSE) dalam diri seseorang. Dengan memiliki lima Kompetensi Sosial Emosional, maka secara tidak langsung seseorang tersebut telah memiliki potensi positif (aset) yang dapat ia gunakan dalam eksistensinya sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan media untuk berinteraksi dengan individu lainnya. Media itu tidak lain adalah komunikasi. Komunikasi sebagai alat untuk berinteraksi dengan individu lain memerlukan keterampilan agar tidak terjadi kesalah fahaman (miss-comunication). Di dunia pendidikan, seorang pendidik yang kerap berinteraksi dengan murid  profesinya menuntut keterampilan dalam berkomunikasi dengan murid tentu memahami akan pentingnya keterampilan komunikasi. Apalagi Sistem Pendidikan kita telah memberi haluan dalam pelaksanaan pendidikan dalam Standar Nasional Pendidikan, Pasal 12 ayat tentang Pelaksanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b diselenggarakan dalam suasana belajar yang:
- interaktif;
- inspiratif;
- menyenangkan;
- menantang;
- memotivasi Peserta Didik untuk berpartisipasi aktif; dan
- memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik.
Dari rambu-rambu ini kita mendapat petunjuk bahwa pendidikan yang diharapkan oleh kita sebagai bangsa yang berdaulat hendaklah dilaksanakan dengan konsep pertimbangan yang matang. Pertimbangan yang saya maksud disini tidak lain merujuk pada kondisi murid-murid kita yang menjadi sasaran pengembangan dari Sistem Pendidikan itu sendiri. Secara umum, kondisi murid bisa diartikan beragam tergantung dari sisi mana seorang pendidik melakukan kajian analisis mana yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan. Murid yang hadir dari berbagai latar belakang dengan berbagai kebutuhan berbeda akan sangat membutuhkan perlakuan yang berbeda. Dalam hal ini, konsep pembelajaran berdifrensisasi yang di gagas pada kurikulum merdeka saat ini bukanlah sesuatu yang baru dalam sistem pendidikan kita. Melainkan telah berjalan sejak zaman kolonial Belanda, dimana pendidikan dimasa itu dibedakan antara laki-laki dan perempuan yang saat itu tidaklah diijinkan untuk mengenyam pendidikan. Dari situasi masyarakat saat ini yang pola kebudayaannya sudah banyak sekali mengalami pergeseran budaya, sebagai seorang pendidik harus memahami bahwa kebutuhan murid saat ini tidak bisa disamakan dengan kebutuhan murid pada zaman awal reformasi atau tahun-tahun baru adanya internet. Kemajuan teknologi digital yang berkembang sangat pesat masuk kedalam semua sistem kehidupan tak terkecuali pendidikan. Â Murid-murid yang tumbuh dalam era revolusi Industri 4.0, memiliki kebiasaan, minat, bakat dan kemampuan yang berbeda dengan murid-murid yang hidup pada zaman sebelumnya. Ada banyak aspek yang sebenarnya bisa menjadi pertimbangan dalam mengakomodir kebutuhan murid. Akan tetapi Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan ada tiga aspek secara garis besar yang menjadi pertimbangan dalam pengelolaan kebutuhan belajar murid, yaitu:
- Kesiapan belajar murid (readiness)
- Minat murid
- Profil belajar murid
Tiga aspek penting ini menjadi pola bagi guru dalam mendesain pembelajaran yang akan dikelola. Pembelajaran memerlukan pendekatan spesifik menyesuaikan dengan ketiga aspek tersebut. Dengan menerapkan strategi difrensiasi proses untuk mengatasi murid dengan kesiapan belajar yang berbeda, atau bisa juga dikombinasikan dengan minat murid bahkan dikombinasikan dengan profil pelajar murid. Strategi difrensiasi konten, atau difrensisasi produk juga sangat memungkinkan untuk dilaksnakan menyesuaikan dengan kebutuhan murid tersebut. Lantas, bagaimana cara guru menggali informasi yang valid tentang semua kondisi atau variabel-variabel tersebut bisa terdata dengan baik?
        Pendidik abad 21 harus bisa memerankan dirinya sesuai konteks pembelajaran berlangsung. Sama halnya dengan penerapan disiplin positif dalam menciptakan budaya positif di sekolah, seorang pendidik haruslah bisa bersikap lentur dalam memposisikan dirinya sebagai seorang manajer, pemantau, teman, pembuat rasa bersalah atau bahkan untuk peran yang sangat tidak disarankan, yakni sebagai penghukum. Begitu pula dalam hal menggali informasi terkait potensi yang dimiliki murid, seorang pendidik bisa berperan menjadi seorang coach, mentor, konselor, trainer, atau fasilitator. Peran-peran tersebut haruslah diskiapi dengan bijak menyesuaikan dengan kebutuhan murid. Akan tetapi, dengan merujuk pembelajaran merdeka belajar yang menerapkan konsep-konsep kesadaran diri maka sudah selayaknya pendidik lebih banyak berperan sebagai seorang coach dari pada peran-peran pengembangan diri lainnya. Mengapa harus Coach? Karena konsep Coach sendiri memliki tujuan yang selaras dengan konsep merdeka belajar, yaitu konsep bebas secara lahir maupun bathin. Secara lahiriah tidak diikat, bisa melangkah dan bergerak sesuai dengan fikiran dan keinginan, sedangkan bebas secara bathin tidak diperintah atau diintimidasi, melainkan berfikir sesuai dengan akal fikirannya sendiri. Proses Coahing juga bertujuan untuk memposisikan seseorang (coachee) menjadi ototnom. dapat mengarahkan, mengatur, mengawasi, dan memodifikasi diri secara mandiri (self-directed, self-manage, self-monitor, self-modify). Untuk dapat membantu guru menjadi otonom, diperlukan paradigma berpikir dan prinsip coaching bagi orang yang mengembangkan. Paradigama tersebut adalah:
- Fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan
- Bersikap terbuka dan ingin tahu
- Memiliki kesadaran diri yang kuat
- Mampu melihat peluang baru dan masa depan
Kekuatan coach dalam menggali potensi diri (coachee) dan perubahan paradigama inilah inilah yang digunakan dalam mengembangkan potensi coachee menuju harapan-harapan yang ia inginkan. Hal ini tentu sesuai dengan maksud dari konsep coaching itu sendiri. Dimana coaching adalah proses kemitraan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi diri coachee sehingga membawa keselamatan dirinya dan orang lain.
Setelah mempelajari modul ini, sama halnya dengan perasaan saya pada modul-modul sebelumnya, saya merasa ada kebijaksanaan-kebijaksanaan baru yang hidup dalam fikiran saya. Perasaan senag dan puas terwujud ketika saya mampu menerapkan semua konsep coaching ini dengan baik dalam diri saya dalam dunia nyata maupun dunia maya. Dengan memahami kompetensi-kompetensi coaching dengan baik, maka semua informasi terkait potensi coavhee akan tergali dengan baik. Kompetensi tersebut dianataranya adalah, presence (kehadiran penuh), mendengar aktif dan mebuat pertanyaan berbobot. Ketiga kompetensi ini merupakan keterampilan penting bagi individu untuk berinteraksi secara positif pada orang lain.
Perasaan-persaan senang yang tercipta selaras dengan bertambahnya wawasan berfikir tentang konsep coaching  pada diri saya. Konsep coaching ini sendiri akan memberikan dampak berupa hasil pada objek yang dikenai. Itulah sebabnya konsep coaching sangat disarankan dalam pelaksanaan supervisi akademik di setiap satuan pendidikan. Supervisi selama ini dikenal dengan proses penilaian proses pembelajaran guru didalam kelas, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Padahal, supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran mereka di kelas. Seorang supervisor memahami makna dari tujuan pelaksanaan supervisi akademik di sekolah (Sergiovanni, dalam Depdiknas, 2007):
- Pertumbuhan: setiap individu melihat supervisi sebagai bagian dari daur belajar
- bagi pengembangan performa sebagai seorang guru,
- Perkembangan: supervisi mendorong individu dalam mengidentifikasi dan
- merencanakan area pengembangan diri,
- Pengawasan: sarana dalam monitoring pencapaian tujuan pembelajaran.
Untuk menerapkan kegiatan Supervisi berbasis coaching, perlu diketahui beberapa prinsip-prinsip supervisi akademik dengan paradigma berpikir coaching meliputi:
- Kemitraan: proses kolaboratif antara supervisor dan guru
- Konstruktif: bertujuan mengembangkan kompetensi individu
- Terencana
- Reflektif
- Objektif: data/informasi diambil berdasarkan sasaran yang sudah disepakati
- Berkesinambungan
- Komprehensif: mencakup tujuan dari proses supervisi akademik.
Dalam pelaksanaan coaching yang telah saya rencanakan sesuai dengan alur TIRTA pada Demonstrasi Kontekstual, saya telah menemukan beberapa poin penting terkait kekuatan yang ada pada diri saya. Misalnya kemampuan mendengar aktif merupakan kompetensi yang paling dominan yang bisa saya kembangkan agar kompetensi ini menjadi alat yang paling efektif untuk memahami dan mendapatkan informasi terkait permasalahan yang sedang dialami oleh coachee. Dengan menerapkan teknik mendengar aktif dengan teknik mendengar dengan RASA (Receive, Apreciate, Sumerize dan  Ask) maka kompetensi mendengar aktif menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan bagi coach dan coachee itu sendiri. Beberapa alur TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung jawab), merupakan serangkaian alur yang dapat membimbing seorang coach dalam membimbing dan mengarahkan murid atau rekan kerja dalam mengahadapi masalah yang dihadapinya.  Proses pelaksanaan Supervisi berbasis Coaching dengan menerapkan alur TIRTA merupakan proses pengembangan diri yang bisa mengoptimalkan dan memberdayakan seluruh potensi rekan (Coachee) secara maksimal. Tindakan supervisi akademik (SA) penting dilaksanakan karena kegiatan ini bertujuan untuk melihat kinerja rekan kerja yang bisa diukur secara kualitatif meupun kuantitatif. Supervisi akademik akan sangat membantu seorang pemimpin dalam mengidentifikasi rekan kerja yang unggul dan berkualitas. Hal ini berhubungan erat dengan kulitas SDM murid yang menjadi sasaran akhir dari sebuah proses pendidikan. Disinilah perlunya seorang pemimpin memberikan berbagai bentuk apresiasi atau reward terhadap prestasi atau kinerja baik pada diri seseorang (coachee). Sebab menurut Henry Simamora dalam Emron dkk (2016: 198), penilaian kinerja dapat mendatangkan hasil yang keliru manakala penilai bias atau standar evaluasi tidak jelas. Masalah proses penilaian kinerja harus dikenali dan diminimalkan oleh penyelia terlatih, orang yang seyogyanya tidak hanya mengetahui masalahnya saja, tetapi juga mempelajari bagaimana menghindari kesalahan penilaian yang lazim terjadi. Dari pernyataan ini, seorang pemimpin harus memahami tentang sebuah tindak lanjut dari kegiatan supervisi akademik yang telah ia lakukan. Karena pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dalam benak seorang pendidik adalah, untuk apa supervisi dilakasanakan, bila tidak ada tindak lanjut secara kontinue akan kegiatan tersebut. Dengan memahami tiga tahapan supervisi secara umum, yaitu pra observasi, pelaksanaan observasi dan pasca observasi, kemudian melanjutkan dengan Rencana Tindak Lanjut (RTL) maka bisa di prediksi bahwa akan terjadi perubahan signifikan terhadap peningkatan kinerja secara berkesinambungan. Kemudian terkait poin-poin yang perlu saya perbaiki tentang supervisi berbasis coaching adalah keterampilan dalam membuat pertanyaan berbobot akan sangat penting untuk di tingkatkan lagi. Karena kompetensi ini memiliki fungsi khusus dalam menggali informasi yang valid terkait fakta dan non fakta pada diri coachee. Untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam mengambil kesimpulan (sumerize) pada teknik mendengar aktif, seorang coach juga harus bijak dalam mengesampingkan perasaan pribadi seperti asumsi, anggapan, perasaan suka dan tidak suka sehingga proses coaching berjalan tidak mengandung asumsi dan pelabelan. Dengan pemahaman saya atas konsep ini, beberapa implementasi ayng telah saya rencanakan dalam bentuk simulasi telah saya lakasanakan dalam pembelajaran dikelas bersama murid. Kedepannya, proses ini akan dilaksanakan pada rekan kerja yang memerlukan bantuan coaching  dalam menghadapi permasalahan pembelajaran dikelas sesuai konteks kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H