menulis lebih luas dari dunia ini. Mengapa saya mengatakan demikian? Bagi saya, yang sebenarnya masih terus belajar menulis, menulis bukanlah melulu soal bakat atau diksi, tetapi soal pesan. Ketika awal-awal menulis, yang saya pikirkan adalah apa yang akan saya tulis dan bagaimana saya menuliskannya.Â
DuniaSetelah proses itu bisa terlewati dengan baik, setidaknya menurut saya pribadi, bergejolak kembali keinginan saya harus untuk bisa menulis dengan lebih "bergaya". Saya mulai fokus pada diksi. Seiring berjalannya waktu, setelah diksi bisa saya anggap lolos, perasaan gelisah mulai menghampiri. Ingin bisa menulis tentang ini, tentang itu, tetapi saya tak punya wawasan cukup untuk bidang tersebut.Â
Berawal dari suka menulis puisi, yang bisa seenak saya sendiri mengemasnya. Bahkan, kadang ingin cepat jadi saja ... dua kalimat cukuplah, yang penting ada hasil dan senang. Lalu, mulai beralih ke cerpen, novel (yang hingga tahunan belum kelar-kelar), sampai akhirnya menulis artikel.
Akhirnya, saya berhenti pada satu fokus. "Pesan" apa yang saya bawa. Dunia menulis itu luas, melebihi dunia pribadi saya, bahkan melebihi dunia ini. Penulis bisa menulis apa saja, termasuk memasukkan imajinasinya yang absurd sekalipun. Penulis itu merdeka, merdeka menuliskan isi kepalanya, tetapi ingat ... selalu ada pertanggungjawaban di balik setiap tulisan kita. Minimal bertanggung jawab pada hati nurani sendiri. Itu pun lagi-lagi mengerucut kepada "pesan" apa yang saya bawa.
Sejak itu, menulis tak lagi sekadar menulis. Menulis itu membawa pesan dan itu penting. Mengapa?
1. Menulis itu memberi pengaruh.
Selalu ada tujuan dalam menulis. Jika tidak ada tujuan, berarti tidak ada pesan. Jika tidak ada pesan, tidak ada pengaruh. Jika tidak ada pengaruh, tidak berguna. Itu saja sebenarnya. Ketika menulis, kata demi kata tersusun, pikiran terus jalan. Bahkan, penulis pun bisa mengalami bak pikiran dan hati seperti dua sahabat dekat yang saling mengisi. Menulis harus punya tujuan, membawa pesan, dan memberi pengaruh.
2. Menulis itu memberi hidup.
Ada sebagian orang yang berfokus menulis fiksi. Sekalipun fiksi, penulis juga punya pesan yang ingin disampaikan. Ketika saya getol menulis fiksi, terutama puisi, hidup saya serasa lebih sehat. Ini bukan berarti kalau menulis jenis lainnya saya menjadi tidak sehat. Menulis puisi membuat saya lebih terbuka. Meski terkadang ada momen ingin membuka diri, tetapi dengan memilih diksi yang jarang dipakai, alih-alih untuk mencoba menutup keterbukaan secara elegan dalam bait-baitnya. Sedikit curang sih, tetapi saya menjadi lebih hidup dengan belajar terbuka melalui tulisan. Pernahkah Anda mendapati seseorang begitu bersemangat membaca puisi atau novel karya penulis tertentu? Itu bukan karena cover novelnya menarik atau (mungkin) halamannya tipis, tetapi karena dia mendapatkan sesuatu dari sana yang membuat hidupnya bergairah kembali.
3. Menulis itu menentukan arah.
Menulis bukan aktivitas murahan. Bukan pula hal sederhana. Menulis itu aktivitas berharga yang bersumbangsih dalam menentukan arah. Dengan menulis, saya berkesempatan menawarkan ide, pemikiran, pengaruh, bahkan peluang bagi orang lain untuk berani melangkahkan satu kaki untuk suatu perubahan hidup. Tidak sedikit orang terpengaruh karena tulisan. Tidak sedikit orang menjadi bersemangat menjalani hidup setelah membaca tulisan, apalagi tulisan yang mereka percayai sebagai ilham dari Tuhan. Tidak dimungkiri, menulis itu menentukan arah. Pembaca secara langsung atau tidak langsung pasti pernah membuat konklusi bagi dirinya sendiri setelah tertohok atau tersentuh melalui tulisan.