Mohon tunggu...
santi imoet
santi imoet Mohon Tunggu... -

orang biasa yang mau belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Batikku Cantik!

18 Mei 2010   05:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:08 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_143700" align="aligncenter" width="500" caption="Komunitas Membatik Kompasiana"][/caption] Belajar membatik? Hmmmmmmm.... kayaknya asyik tuh. Itu yang ada dalam pikiranku saat membaca undangan dari Babeh Helmi untuk kumpul di Museum Tekstil. Maka pada hari minggu pagi tanggal 16 Mei, aku, Om Arif Kucing, Mbak Listyo Fitri dan Zaki keponakanku berangkat dari rumah di Bogor. Sebelumnya sempat mampir sarapan nasi pecel yang enak banget di Jalan Ahmad Yani. Dan juga sempat nganterin Mbak Listyo Fitri ke Istana Bogor untuk memastikan bahwa yang berkeliaran di halaman Istana Bogor itu Kijang dan bukan mbek (sebab seminggu sebelumnya Mbak Lis dan Mbak Suri sempat bedebat sengit soal itu hehehehehe). Sesampai di lokasi, aku melihat pemandangan kumuh. warung kaki lima menempel rapat di pagar. Jalanan yang nyaris banjir, orang2 yang berusaha membuang genangan air di depan lapak-lapak dagangannya. Tapi begitu mobil berbelok ke halaman museum, wuiiiiiihhhhhh.... aku melihat suasana yang asri, bersih, sejuk, rimbun dan rindang. Berbeda jauh dengan yang kulihat di balik pagar. Kulihat ada Mbak Ikaparhusip yang lagi nangkring di jendela besar museum. Dan ah, ini to yang namanya Babeh Helmi yang lucu dan imyut itu. Maklum ini kopdar pertama sejak aku bergabung di Kompasiana. Mbak Lis yang mengenalkan aku kepada semua yang hadir, karena yang aku kenal cuma Mbak Ika dan Mbak Suri yang ternyata sudah hadir juga di situ. Akhirnya aku kenal Mbak I Je, dan Kangiwan, juga Saras dan Iqbal anak dan kemenakan Babeh. Museum Tekstil tempat yang asri di tengah kumuhnya daerah Tanabang. Gedung yang bekas kantor Departemen Sosial itu sangat terawat. Aku sempat berpikir darimana ya biaya perawatannya? Tiket masuk cuma Rp. 2.000,-, kalau mau belajar membatik bayar Rp. 35.000,-. Benar-benar tempat yang luar biasa indah, cuma ada yang yang ganjel, aku sempat bingung lihat warna bendera besar di depan museum, kayaknya sih bendera Merah Putih, bukan bendera Pink Putih. Kami sempat berkeliling di dalam museum menyaksikan pameran batik koleksi pribadi. Baru ngeh, kalau batik juga ada di Palembang dan Jambi. Detail dari tiap motif seolah menghipnotisku. Pola yang rumit nan indah dari tiap helainya luar biasa cantik. Akhirnya tibalah kami di lokasi workshop di belakang gedung. Sebuah rumah panggung dari kayu, sangat eksotis. Ada 2 canting raksasa di depannya. 9 orang dari kami sudah bulatkan tekad untuk belajar membatik. Aku disodori kain mori yang sudah ada gambar bunganya, guratan pensil itulah yang harus kuisi dengan cairan malam. Aku duduk mengitari kompor dan wajan kecil bersama Mbak Ika, Mbak Lis dan Kangiwan. Masing-masing dari kami memegang canting. “Tangan kanan berada di sebelah kompor”, Mbak pengajar kami mulai memberi instruksi. “Ambil malam dari wajan dan mulai goreskan di...... bla...bla... bla” Aku gak mikir apa-apa lagi dan langsung berkonsentrasi, mensinkronkan pandangan mata, gerakan tangan mengikuti garis-garis pensil di atas mori. [caption id="attachment_143708" align="alignright" width="300" caption="aku dan canting"][/caption] Rasanya dunia menjadi sunyi. Eh, tau-tau ada suara Om Kucing menegurku, nanyain kunci mobilnya. Jiaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhh........ setetes besar malam langsung menghiasi lembaran kain calon adikaryaku yang pertama, hiks..... Dasar dudul, kuncinya ada di kantong belakang celana si Om Kucing. Kucing dudul!!! Ternyata selesai 1 sisi harus dilanjutkan dengan sisi baliknya. Haduuuuhhhhh..... jagungku sudah sebesar keringat. Eh, keringatku sudah sebesar jagung. Mulai lagi proses jiplak yang membutuhkan konsentrasi sangat dahsyat itu. Tak terasa sudah 53 menit aku melewatkan waktu dengan duduk dan “menggambar” dengan canting dan malam. Entah berapa kali Mbak pengajar memarahiku karena salah megang cantinglah, kurang banyak malamnyalah, atau karena malamnya sudah mengering di dalam canting dan harus isi ulanglah. Pffffufffttttt........... aku agak terhibur saat si Mbak ketetesan malam. Hehehehehe maaf mbak, habis cerewet banget sih. Dan butuh waktu 30 menit lagi untuk mengisi ruang-ruang kosong diantara gambar itu dengan titik ataupun garis, yang ini suka-sukaku hehehe. Setelah selesai aku membawa karya adiluhungku ke proses selanjutnya. Lembaran itu diletakkan di atas lembaran koran, tepinya diolesi parafin cair untuk memberi efek bingkai. Dan setelah kering diremas agar saat diberi warna ada efek retakannya. Singkat cerita akhirnya setelah diwarnai maka selesailah saputangan batik tulisku yang pertama. Warnanya biru, terlihat imut dan cantik seperti diriku hehehehe narsesssss. Heehehe.....jadi ingat waktu beli daster batik di jogja kemarin. Ku tawar habis-habisan pe ngotot pula. Untungnya dapet dengan harga murah, karena ternyata bukan batik karena hasil print pabrik. “Kalau batik print motifnya pasti simetris mbak” kata Mas instruktur saat membantuku mewarnai hasil karyaku yang megah itu. Babeeeeehhh makasih ya sudah mengajakku ke Museum Batik. Kapan ke sana lagi ya? [caption id="attachment_143712" align="aligncenter" width="289" caption="STC"][/caption] aku kecanduan mbatik! Eh jadi inget, Mbak Suriiiiiiii mana batik kuuuuu! PS: makasih untuk Kangiwan atas pinjeman semua foto yang ada di sini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun