Merupakan suatu prestasi besar bahwa bangsa Indonesia mampu membuat sebuah Undang-Undang yang cukup krusial yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diundnagkan dalam Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960. Kita mengenal undang-undang tersebut dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria.
Harus diakui bahwa sebelum adanya Undang-Undang Pokok Agraria, tata kelola pertanahan di Indonesia masih carut marut. Hal ini dikarenakan masih digunakannya hukum perdata peninggalan pemerintah kolonial Belanda sebagai dasar tata kelola pertanahan di Indonesia.
Meskipun belum sempurna, namun nyatanya hadirnya Undang-Undang Pokok Agraria telah merubah cara pandang pengelolaan pertanahan di Indonesia, salah satu diantaranya adalah diakuinya Hak Ulayat yang merupakan hukum asli dan tumbuh serta berkembang di beberapa wilayah Indonesia. Masih banyak tanah-tanah di daerah yang dikelola secara adat dan masih diakui keberadaannya sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia.
Pertanyaannya adalah, apakah dengan terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria akan langsung menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan pertanahan di Indonesia? Sebuah pertanyaan yang harus menjadi pemikiran kita bersama mengingat bahwa persoalan pertanahan sangat komplek dan bisa dikatakan sangat kusut bagaikan benang yang saling terikat dan sangat sulit untuk diuraikan dalam waktu yang singkat.
Kebutuhan akan tanah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat tetapi juga oleh Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan yang juga sangat membutuhkan penyediaan lahan baik untuk sektor pertanian, industri, pertambangan dan sektor-sektor lainnya yang muaranya adalah bisa menghasilkan devisa yang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadaan ini tentu saja sangat disadari oleh Pemerintah, bahkan keadaan ini juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang akan menggunakannya hanya untuk kepentingan ekonomis pribadi dan golongannya saja.
Setiap orang sebagai bagian dari warga negara Indonesia, mempunyai hak untuk memiliki tanah dan mempunyai dasar hukum kepemilikannya, oleh karena itu, sangat diharuskan bahwa setiap orang yang memiliki tanah agar mendaftarkan tanah miliknya tersebut sehingga bisa memiliki dasar hukum kepemilikan yang kuat, yang ditandai dalam bentuk Sertifikat Hak Milik.Â
Sedangkan bagi kalangan pengusaha dapat mengelola dan mengolah sebidang tanah dan bangunan yang ada di atasnya dengan dasar hukum yang kuat dalam bentuk Sertifikat Hak Guna Usaha  dan apabila dalam bentuk lahan pertanian atau perkebunan atau kehutanan, penguasaannya dalam bentuk Sertifikat Hak Pakai. Sertifikat Hak Pakai ini di lapangan sering dijabarkan dalam bentuk Hak Pengelolaan Hutan dan hak-hak sejenisnya.
Yang sering terjadi adalah ketika seorang pengusaha atau sekelompok pengusaha mengajukan permohonan Sertifikat Hak Pakai, petugas pendaftaran tanah dari Kantor Pertanahan setempat sering tidak melakukan pengecekan ke daerah yang dimohonkan. Hal inin banyak terjadi di wilayah-wilayah yang belum memiliki data pertanahan yang lengkap dan tercatat secara baik.Â
Oleh sebab itu, sering terdengar terjadi keributan perebutan lahan antara anggota masyarakat, bahkan terkadang melibatkan masyarakat adat setempat, dengan pihak pengusaha, yang masing-masing berpegang pada pendiriannya, yaitu pihak pengusaha menyatakan sudah mempunyai Sertifikat Hak Pakai sedangkan masyarakat berpegang pada prinsip bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat dan tidak diperjualbelikan.
Satu hal yang sering dilupakan oleh masyarakat adalah, di dalam Undang-Undang Pokok Agraria mempunyai prinsip bahwa setiap tanah mempunyai fungsi sosial. Â Apa artinya? Tanah mempunyai fungsi sosial artinya bahwa setiap tanah harus diserahkan ketika kebutuhan sosial dalam suatu wilayah membuthkan tanah tersebut.Â
Contoh kebutuhan sosial antara lain, lahan untuk pemakaman umum, lahan pembangunan jalan, lahan untuk pembangunan tempat ibadah, lahan untuk pembangunan pasar dan lain sebagainya, termasuk diantaranya adalah lahan yang dibutuhkan untuk membuat hutan industri yaitu lahan yang ditanami dengan pohon-pohon yang dapat digunakan sebagai pendukung industri, seperti pohon untuk bahan pembuatan kertas, lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik dan lain-lain yang hasilnya bisa digunakan untuk masyarakat di sekitar lahan tersebut.