Saat ini kita sudah memasuki masa kampanye, menyambut Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024. Yang pasti kegiatan kampanye bagaikan orang berjualan di pasar, yang selalu menyebutkan bahwa produk yang dijualnya adalah produk nomor satu dan lebih baik dari produk pesaingnya, meskipun mungkin senyatanya bisa berbeda...hehehehe.
Kegiatan kampanye pemilu ini mengingatkan saya akan kegiatan kampanye selama masa Orde Baru, sebab saya sudah mulai ikut memilih pada saat Pemilu pada tahun 1992 yang saat itu, sudah diketahui pemenangnya, bahkan sebelum pemilu dilaksanakan. Kok bisa? Karena memang selama masa Orde Baru, hanya satu kontestan yaang bisa memenangi pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Meski demikian ada beberapa jargon yang pernah muncul selama pemilu saat itu.
Istilah Jurdil ini kayaknya masih dipakai sampai saat ini, istilah yang merupakan singkatan dari Jujur dan Adil. Penguasa pada saat itu sudah memerintahkan agar pemilu dilaksanakan dengan jujur dan adil, meskipun pada kenyataanya sangat bertolak belakang.
Hal ini disebabkan setiap akan diadakan pemilu, masyarakat sudah mengetahui siapa yang akan menang dan pada kenyataannya pemenang pemilu ini berkuasa selama kurang lebih tiga puluh dua tahun. Tidak ada yang berani melawan kekuasaan Orde Baru inikarena siapapun yang melawan, dipastikan akan mengalami sesuatu yang tidak mengenakan, bahkan bisa hilang tanpa bekas. Sampai kemudian datang masa Reformasi yang berani mendobrak keadaan tersebut, meski demikian, jargon ini tetap awet dipakai sampai saat ini.
Jargon Sekasur, Sedapur, Sesumur ini sering terlontar pada saat pemenang pemilu sedang melakukan kampanye di daerah-daerah. Arti dari jargon ini adalah sekasur berarti, setiap anggota harus bisa mempengaruhi teman sekasurnya yaitu suami atau istri untuk bisa memilih pilihan sesuai pilihan pasangannya, sedapur artinya setiap anggota harus bisa mempengaruhi pilihan politik anggota keluarganya, baik anak, ataupun orang tua atau saudara kandungnya ataupun siapa saja yang tinggal serumah dengan anggota tersebut dan sesumur artinya adalah setiap anggota harus bisa mempengaruhi pilihan politik lingkungan dimana anggota tersebut tinggal. Harus dipahami, pada masa itu, sekitar tahun 1980an sampai dengan tahun 1990an, satu sumur akan digunakan bersama-sama oleh beberapa rumah tangga yang tinggal di sekitar sumur tersebut.
Jargon ini ternyata cukup efektif untuk mengumpulkan suara bagi yang memenangkan pemilu selama tiga puluh dua tahun. Apa jargon ini juga akan dipakai oleh partai politik di masa sekarang?
Jargon Nomor Satu Dibuka, Nomor Dua Dicoblos, Nomor Tiga Ditutup terkenal pada masa Pemilu yang diadakan pada masa Orde Baru, khususnya yang diadakan setelah tahun 1970an, hanya diikuti oleh tiga kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan kontestan nomor satu, Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kontestan nomor dua dan Pardai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan kontestan nomor tiga, sehingga pemilu paada saat itu sebenarnya cukup mudah kaarena hanya ada tiga pilihan dan yang dipilih hanya peserta pemilu dan bukan memilih orang-orang yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun sebagai presiden/wakil presiden.
Kampanye Golkar pada saat itu, cukup simpel, yaitu sebagaimana jargon nomor satu dibuka, nomor dua dicoblos, nomor tiga ditutup. Jargon yang mudah diingat dan mudah dilakukan.
Meskipun ada jargon jujur dan adil, namun pada kenyataannya, setiap aparatur negara, yaitu pegawai negeri sipil beserta keluarganya harus memilih peserta pemilu nomor dua, hal ini berkaitan dengan asas kesetiaan tunggal yaitu setia kepada penguasa pada saat itu. Jika tidak, maka siap-siap pegawai negeri tersebut dipindahkan ke tempat yang tidak enak atau setidaknya akan mendapatkan perlakuan yang berbeda di kantor, demikian juga keluarganya akan mendapatkan perlakuan berbeda dalam masyarakat.
Tidak hanya pegawai negeri sipil tetapi juga kepolisian dan tentara yang mewajibkan keluarganya memilih peserta pemilu nomor dua, dengan konsekuensi yang sama dengan pegawai negeri sipil. Lebih jelas lagi hal yang sama diberlakukan terhadap kepala daerah, dari mulai Gubernur sampai dengan Kepala Desa, siapapun kepala daerah yang tidak memenangkan peserta pemilu nomor dua, pasti akan dicopot jabatannya atau minimal daerahnya dibiarkan menjadi daerah tertinggal dan tidak mendapat bagian pembangunan.
Itulah beberapa jargon yang sempat eksis pada masa Pemilu yang digelar saat penguasa Orde Baru berkuasa. Semoga bisa menjadi bahan pembelajran bagi kita semua, karena seharusnya Pemilu adalah pesta yang bisa dinikmati secara menyenangkan oleh masyarakat Indonesia.