Mohon tunggu...
Santhos Wachjoe Prijambodo
Santhos Wachjoe Prijambodo Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNS di Surakarta

Seseorang dengan hobi membaca dan menulis artikel, baik artikel ilmiah maupun artikel non ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Catatan Singkat Kasus Kopi Sianida

19 Desember 2023   09:55 Diperbarui: 19 Desember 2023   10:05 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Singkat Kasus Kopi Sianida

 

 

            Kembali ramai pemberiataan mengenai sebuah film singkat dengan judul Iced Cool yang membahas kembali mengenai perkara kopi sianida yang melibatkan seorang Terdakwa bernama Jessica Kumala Wongso yang sudah diputus dengan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yaitu dengan putusan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun penjara. Apapun putusan yang dijatuhkan tersebut, harus kita hormati, mengingat negara kita menjujung tinggi supremasi hukum sebagai salah satu sarana pengatur tata kehidupan masyarakat.

            Catatan ini bukan bermaksud membahas mengenai putusan yang sudah dijatuhkan, hanya sekedar membahas hal-hal kecil yang mungkin terlewatkan selama persidangan kasus tersebut, baik di tingkat pertama (di Pengadilan Negeri), di tingkat banding (di Pengadilan Tinggi), di tingkat kasasi (di Mahkamah Agung) maupun di tingkat peninjauan kembali (di Mahkamah Agung). Hal ini hanya sebagai pengingat bagi kita semua, bahwa jalannya persidangan harus dilakukan secara detail dan teliti sehingga bisa menghasilkan putusan yang berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.

            Perkara kopi sianida terjadi di tahun 2016 dan putusan atas perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) pada tahun 2017. Dari jalannya persidangan perkara tersebut, dapat diberikan beberapa catatan singkat :

  • Belum diterapkannya Scientific Evidence sebagai alat bukti dalam persidangan
  • Pada tahun-tahun tersebut prsedur persidangan perkara pidana, khususnya dalam  hal pembuktian, masih mengacu kepada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan Terdakwa;
  • Untuk keterangan saksi, sangat mungkin terjadi tidak ada saksi yang melihat langsung kejadian tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa;
  • Untuk keterangan ahli, hanya didsarkan pada keilmuan yang dimilki oleh ahli yang diperiksa di persidangan yang tidak akan menjelaskan fakta yang terjadi pada tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa maupun kondisi korban;
  • Untuk bukti surat, masih didasarkan pada surat-surat yang dibuat atas sumpah atau surat yang dikuatkan dengan sumpah yang hanya tertuju pada surat berupa akta resmi maupun akta di bawah tangan yang dikuatkan oleh sumpah;
  • Untuk petunjuk, masih didasarkan pada kesesuaian antara bukti keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat maupun keterangan Terdakwa;
  • Untuk keterangan Terdakwa, sangat mungkin Terdakwa akan menyangkal segala dakwaan terhadap dirinya dengan berbagai alibi;
  • Pada perkara a quo hanya terdapat bukti surat Visum et Repertum yang kekuatan pembuktiannya cukup lemah mengingat dalam perkara pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang, seharusnya dilakukan Otopsi yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Otopsi yang dapat digunakan sebagai bukti berdasarkan keilmuan atau Scientific Evidence;
  • Ketika putusan Hakim didasarkan pada Scientific Evidence maka putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan bukan putusan yang berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah;
  • Sebenarnya penggunaan Scientific Evidence sebagai alat pembuktian di persidangan, baru muncul dan digunakan pada pertengahan tahun 2016 akan tetapi belum digunakan secara merata, bahkan di pengadilan negeri yang berada di Jakarta sekalipun;
  • Selain Berita Acara Otopsi, yang juga termasuk dalam Scientific Evidence adalah Berita Acara Digital Forensic yang akan dijelaskan di bawah;
  • Tidak dilakukannya Otopsi
  • Dalam berbagai kasus pembunuhan atau penghilangan nyawa seseorang, pihak Penyidik selalu meminta dilakukannya otopsi kepada pihak yang berwenang, yaitu pihak Kedokteran Forensik yang ada di Rumah Sakit;
  • Alasan harus dilakukannya otopsi adalah supaya dapat diketahui secara tepat penyebab kematian seseorang dalam suatu perkara pidana;
  • Sangat mungkin terjadi seseorang meninggal bukan karena sabetan senjata tajam atau terkena peluru senjata api tetapi karena keracunan minuman atau makanan, meskipun di tubuh orang tersebut terdapat bekas tebasan senjata tajam atau lubang peluru dari senjata api;
  • Keakuratan dari penyebab kematian korban dari hasil otopsi ini yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Otopsi yang akan digunakan sebagai bukti berdasarkan keilmuan atau Scientific Evidence;
  • Dengan adanya Scientific Evidence, maka apapun putusan Hakim dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dapat menjadi rujukan bagi putusan sejenis selanjutnya atau (jurisprudence);
  • Tidak dilakukannya Digital Forensic:
  • Pada persidangan kasus kopi sianida juga dimunculkan bukti rekaman CCTV yang bisa menggambarkan keadaan pada saat kejadian;
  • Dalam kasus a quo, baik Penyidik maupun Penuntut Umum tidak melakukan Digital Forensic terhadap bukti dalam CCTV, bahkan Majelis Hakimpun tidak pula menanyakan apakah terhadap barang bukti CCTV sudah dilakukan Digital Forensic atau belum;
  • Dalam persidangan modern, ketiadaan Digital Forensic atas suatu bukti digital, maka bukti digital tersebut harus dinyatakan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan;
  • Apabila terhadap suatu bukti digital sudah dilakukan Digital Forensic, maka bukti digital tersebut sudah dikategorikan sebagai bukti berdasarkan keilmuan atau Scientific Evidence;

            Kiranya, hal tersebut di atas yang menjadi catatan dari perkara kopi sianida yang saat ini putusannya telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde). Semoga hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun