Menikmati Wisata Kereta Api Uap Di Kota Solo
Â
      Menjadi suatu pengalaman yang tak terlupakan, ketika penulis mendapatkan kesempatan untuk menikmati naik kereta uap Jaladara di Kota Solo. Diberangkatkan dari Stasiun Purwosari menuju Stasiun Kota Lama, menjadikan perjalanan kereta kluthuk Jaladara menjadi sangat spesial mengingat selama perjalanan kereta tersebut akan melintasi Jalan Slamet Riyadi Solo yang merupakan jalan utama di Kota Solo.
      Selama perjalanan pasti dong akan menjadi pusat perhatian masyarakat yang ada di sepanjang Jalan Slamet Riyadi sampai dengan perempatan Gladak atau perempatan patung Slamet Riyadi. Sesuatu banget deh, kereta uap berjalan dengan kecepatan tidak leboh dari 30 km/jam atau setara dengan kecepatan sepeda onthel, bahkan ketika dalam perjalan kembali ke Stasiun Purwosari, kereta kluthuk Jaladara disalip becak....bener, disalip becak, kebayangkan betapa lambatnya kereta tersebut berjalan.
      Ada beberapa hal yang menarik ketika naik kereta uap Jaladara tersebut, yang bisa menjadi hal yang tidak terlupakan bagi para penumpangnya.
Dipanaskan 4 Jam Sebelum Keberangkatan
Sebelum keberangkatan, penulis sempat berbincang dengan Kepala Stasiun Purwosari, yang mengatakan bahwa untuk menjalankan kereta uap Jaladara tersebut, ternyata harus sudah dipasnaskan ketel uapnya 4 (empat) jam sebelum keberangkatan. Jadi bisa dihitung, ketika kereta akan berangkat jam 07.00 WIB maka petugas akan memanaskan ketel uap lokomotifnya dari mulai jam 03.00 WIB, sungguh luar biasa pengorbanan dan kerja keras kru kereta uap Jaladara.
Harus kita apresiasi kinerja kru kereta uap Jaladara tersebut, mengingat bukan perkara mudah untuk menghidupkan ketel uap lokomotif yang sudah berusia cukup tua tersebut. Terlebih, ketel uap dipanaskan dengan menggunakan kayu bakar yang sudah disiapkan sebelumnya.
Hanya Menggandeng Dua Gerbong Penumpang
Kereta uap Jaladara hanya menggandeng 2 (dua) gerbong penumpang saja, entah kenapa tidak mneggandeng lebih banyak gerbong, namun kemungkinan besar mengingat kemampuan lokomotif dari kereta uap tersebut yang hanya mampu menggandeng 2 (dua) gerbong. Dari dua gerbong tersebut, jumlah penumpang yang dapat diangkut maksimal adalah 60 (enam puluh) orang dengan posisi kursi penumpangnya, di gerbong pertama kursi berderet berhadapan, persis seperti kursi penumpang kereta api saat ini dan kursi penumpang di gerbong kedua seperti tempat duduk di dalam angkutan kota (angkot) yaitu memanjang ke belakang dan saling berhadapan.
Kursi penumpangnyapun adalah kursi kayu yang cukup antik, pokoke serba nyeni banget, termasuk interior di dalam gerbong. Seakan mengingatkan kembali akan kenangan naik kereta saat seratus tahun yang lalu, benar-benar membuat akan selalu teringat dalam memori kita.