Sebut saja namanya Melati, wanita berparas rupawan ini diantara rekan-rekan sejawatnya bukan satu-satunya yang belum menemukan jodoh atau berumahtangga. Bagi Melati kesendirian tidak menjadi masalah dikarenakan masih ada kerabatnya dan hal-hal lain yang dapat mengobati kesepian. Sesekali ketika gank-nya berkumpul bersama, mereka saling bertukar cerita kehidupan masing-masing tak terkecuali soal kedekatan dengan pria dan keinginan menikah. Namun disaat sesi tersebut dibahas, Melati urung bercerita. Usut punya usut ternyata Melati merasa takut untuk menikah, ia takut bilamana pasangan hidupnya tidak baik mengakibatkan kelak kehidupan rumahtangganya gagal.
Memang urusan mencari pasangan hidup bukanlah persoalan yang mudah baik bagi pria maupun wanita, segala aspek dari kepribadian pasangan, kemampanan, tampang, latar belakang, serta keluarga acapkali menjadi bahan baku "pertimbangan" apakah pribadi telah menemukan jodoh yang tepat sesuai keinginannya. Berbeda halnya dengan Melati, belum sampai jauh memikirkan hal tersebut justru ia lebih dahulu dilanda rasa takut.
Perasaan takut merupakan hal yang lumrah dialami setiap manusia, diantara beragam macam hal yang disenangi setidaknya ada saja hal-hal yang ditakuti. Seperti apa yang Melati alami ketakutan pra menikah bisa timbul disebabkan oleh bermacam-macam sebab, semisal kurang rasa percaya diri, Â trauma akibat seringkali gagal ketika menjalin hubungan dengan kekasih, pola pikir skeptis dan pesimis akibat ragam cerita retaknya hubungan dengan kekasih, pengaruh orang-orang terdekat, dan lain sebagainya.
Perasaan takut berlebih tidaklah baik, orang yang mengalami rasa takut berlebih dalam kasus menjalin hubungan rentan diliputi rasa frustasi atau kecewa. Kecenderungan orang yang mengalami hal ini yaitu akan berupaya mencari hal lain untuk menutupi (berusaha mengalihkan) rasa kecewanya dengan memproteksi atau menutup diri. Bisa dikatakan orang yang mengalami rasa kecewa adalah pribadi yang sulit untuk move on, ada hal yang mengganjal dalam batinnya sehingga menyebabkan pribadi tidak dapat menerima kenyataan dan kurangnya motivasi melanjutkan kehidupannya.
Dalam perkara yang Melati alami, mendapatkan pasangan yang baik adalah keinginan setiap pribadi. Tidak seorang pun manusia yang ingin mengalami kegagalan, apalagi ketika menjalin hubungan maupun berumahtangga. Baik itu relatif tergantung bagaimana pribadi mempresentasikannya, untuk pasangan hidup baik bisa mengacu kepada prilakunya yang baik, sosok yang bertanggungjawab, sosok yang taat beribadah, dan lain sebagainya. Namun jangan dilupakan bahwa "pasangan yang baik hanya bisa didapat apabila pribadi telah baik".
Baiknya pasangan hidup ibarat dua sisi mata uang dimana kedua sisi memiliki nilai nominal yang sama. Diibaratkan kualitas manusia tersebut bernilai nominal Rp.1.000,- maka ia akan mendapatkan pasangan hidup dengan nominal serupa, tidak mungkin ia mendapatkan pasangan hidup yang bernilai Rp.100.000,- lebih ataupun kurang dari Rp.1.000,-. Setidaknya untuk mendapatkan pasangan yang baik adalah dengan berusaha menjadikan diri agar baik lebih dahulu (dalam upaya meningkatkan kualitas atau nominal diri pribadi), tetapi bukan dengan cara berpura-berpura menjadi baik.
Acapkali manusia melakukan hal tersebut (berpura-pura baik) untuk mendapatkan pasangan hidup, berpura-pura dihadapan pasangan maupun calon mertua memberikan kesan meyakinkan agar pinangannya dapat diterima. Kembali manusia bisa saja tertipu, tetapi jodoh merupakan misteri Allah dan Allah Maha Tahu. Niat baik akan berujung baik, sebaliknya niat buruk akan berakhir tragis.
Sejatinya untuk mendapatkan pasangan hidup yang baik maka bulatkan tekad menjadi pribadi yang baik dahulu, ikhtiar atau terus berusaha menjadi baik, dan carilah di tempat yang baik bukan sebaliknya. Usaha itu pun tak langsung berhenti ketika seseorang telah mendapatkan pasangan hidup sesuai harapannya, melainkan diteruskan dengan cara menjaga, merawatnya, dan mempertahankan dengan seoptimal mungkin. Bukan berarti ketika mendapatkan pasangan baik lalu pribadi berpuas diri dan usaha memperbaiki diri berhenti ditempat, justru jadikan pasangan hidup sebagai motivasi untuk semakin rajin usaha untuk memperbaiki diri beserta keluarga. Disaat bersamaan ketakutan yang dirasakan sebelumnya akan sirna, tertutupi oleh kebahagiaan yang didapatkan dari upaya terus menerus memperbaiki diri. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H