Disadur dari sumber wikipedia.org, yang dimaksud Sinetron atau Sinema Elektronik adalah istilah untuk program drama bersambung produksi Indonesia yang disiarkan oleh stasiun televisi di Indonesia. Sekilas balik kemasa lalu dimana saat stasiun televisi tidak sebanyak sekarang, pada tahun 1991 kita mengenal sinetron seperti Sitti Nurbaya yang disiarkan oleh stasiun TVRI. Sinetron yang diadaptasikan dari buku novel Marah Rusli menceritakan kisah cinta dua remaja Samsulbahri dan Sitti Nurbaya menjadi primadona di masa itu.
Pada era 90-an dapat dibilang stasiun televisi swasta masih merintis usahanya untuk berkembang, umumnya beragam acara yang dihadirkan merupakan produksi luar negeri. Sinetron pun dari apa yang Penulis ingat masih tidak begitu digandrungi, walau tetap ada tak seberapa banyak dan tayang seminggu sekali namun tak lebih hanya untuk mengisi kekosongan dari dominasi tayangan produksi luar negeri yang masih begitu diminati oleh masyarakat. Bahkan dahulu Sinetron lebih diidentikkan sebagai tontonan yang hanya diidamkan oleh kalangan ibu-ibu rumah tangga, apakah dari alur cerita, tokohnya, sampai aktor dan aktris yang terlibat didalam Sinetron. Minat masyarakat yang bertambah terhadap Sinetron bisa dikatakan menjadikan sebuah batu lompatan hadirnya Sinetron-sinetron baru. Dilain pihak Sinetron juga menambah pundi-pundi pemasukan bagi stasiun televisi yang menayangkannya ketimbang harus membeli izin tayangan televisi produksi luar negeri, memunculkan bakat-bakat baru dalam dunia akting, serta secara tidak disadari yaitu lapangan pekerjaan.
Lalu apa yang menyebabkan antipati masyarakat di masa kini terhadap Sinetron? Penulis menyimpulkan yaitu disebabkan kecendrungan cerita Sinetron saat ini yang terlalu dibuat mengada-ngada, fiksi maupun mistis, monoton (mencontoh dari bentuk Sinetron produksi luar negeri), unsur tidak mendidik (perkelahian, percintaan, dll), dan unsur-unsur yang bertentangan dengan keadaan sosial budaya negeri ini serta kejenuhan masyarakat dimana jumlah yang Sinetron terlalu banyak dengan intensitas tayangan dimana hampir setiap hari ada. Belum lagi kekhawatiran dampak negatif yang mungkin saja dapat ditimbulkan kontan semakin membentuk penolakan dan rasa benci masyarakat terhadap tayangnya suatu Sinetron.
Untuk membinasakan Sinetron sendiri menurut Penulis merupakan hal sulit yang dapat dilakukan. Keterlibatan banyaknya individu yang menggantungkan mata pencahariannya pada produksi Sinetron merupakan kendala utama diantara banyaknya pertimbangan. Alhasil bentuk penolakan berupa pengaduan hanya berujung kepada teguran tertulis, mediasi, pemberhentian sementara maupun sanksi lainnya tetap tidak akan memberhentikan hadirnya Sinetron di layar televisi.
Pada akhirnya masyarakatlah yang harus bijak dalam memilih konten atau materi tayangan di televisi. Seiring itu pula peran masyarakat untuk menciptakan tayangan yang mendidik dan berkualitas tidak boleh surut hanya dikarenakan hasil keputusan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan upaya itu diharapkan semoga dikedepan harinya dapat tercipta suatu karya produksi lokal yang mendidik, berkualitas, membanggakan, punya daya saing dan jual tidak kalah dengan produksi luar negeri serta dari potensi yang dimungkinkan itu didapat manfaat pula yang dirasakan oleh masyarakat. Demikian artikel dari Penulis, mohon maaf apabila ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik pribadi Penulis. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H