Lagi dan lagi, entah untuk keberapa kalinya headline media memuat pemberitaan para petugas partai politik yang terlibat kasus korupsi. Kabar terakhir yang beberapa lama sebelumnya dikemas ke publik yaitu penangkapan salah satu kader PDIP melalui Operasi Tangkap Tangan KPK di sebuah hotel berlokasi di Sanur, Bali. dalam OTT KPK tersebut berhasil menyita sejumlah uang diduga suap dan menjaring tiga orang yaitu anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Ardiansyah, Direktur PT Mitra Maju Sukses Andrew Hidayat, dan anggota Polsek Menteng Brigadir Agung Krisdianto. Setelah melalui penahanan yang memakan waktu hingga 30 jam untuk diperiksa akhirnya baik Ardiansyah dan Andrew Hidayat ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus suap terkait (izin pertambangan) pengusahaan PT MMS di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Sedangkan anggota Polsek Menteng AK dilepaskan sebagaimana KPK melalui pimpinan sementara Johan Budi mengutarakan dikarenakan penyidik belum menemukan bukti yang kuat.
Dari apa yang terjadi bisa dibilang korupsi sangat identik dengan dunia politik sebagaimana banyak kasus korupsi dimana ramai-ramai anggota partai politik yang terjerat didalamnya, memang dalam hal ini kita tidak mengeneralisasi bahwa keseluruhan anggota partai politik melakukan korupsi mengingat tindak korupsi dapat berupa apa saja dan dilakukan oleh siapa saja. Namun terlepas dari Operasi Tangkap Tangan KPK ini bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas terlepas dari stigma negatif terhadap gambaran setiap individu yang masuk partai politik maka memungkinkan seseorang tersebut terlibat kasus korupsi. Kemudian setiap kali anggota partai politik yang melakukan tindak korupsi seolah memberikan persepsi seperti pepatah "habis manis sepah dibuang", selayaknya mereka yang ketahuan dan terbukti melakukan korupsi maka partai pun begitu mudahnya mencuci tangan dengan melakukan sanksi penonaktifan hingga pemecatan. Dari gambaran tersebut sehingga membuahkan opini dimana partai yang diusung oleh anggota partai seolah-olah tidak bertanggungjawab atas prilaku para anggotanya maupun tidak ada upaya mencegah maupun mengingatkan para anggota untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri, merusak citra partai, dan yang jauh lebih penting melukai hati rakyat dikarenakan mereka adalah perwakilan rakyat di pemerintahan.
Sedangkan dari gambaran Penulis terhadap partai politik diibaratkan sebagai lintah dimana menghisap sendi-sendi yang dimiliki individu yang menjadi anggotanya hingga kenyang, apa yang Penulis gambarkan ini bukan bermaksud menjelekkan partai politik namun gambaran ini kebetulan merupakan pengalaman dari kerabat yang pernah menjadi anggota sebuah partai politik . Tentu tidak etis menceritakan pengalaman pahit seseorang terhadap sesuatu hal yang seperti diawal Penulis katakan bahwa kita tidak bisa mengeneralisir kesemuanya. Penulis kira itikad atau maksud tujuan seseorang masuk menjadi anggota partai politik tidak ditanyakan terlebih dahulu diawal untuk apanya, sehingga baik tugas dan peran yang diembankan kepadanya pun lebih difokuskan kepada apa yang menjadi keahlian orang tersebut maupun kepentingan pribadi yang ia bawa. Dalam kasus korupsi yang terjadi Penulis kira nampak terlihat sekali bahwa tidak adanya pengawasan internal dalam partai untuk mengamati tindak tanduk para anggotanya, sebagaimana partai politik hanya menekankan tanggungjawab atau menuntut kewajiban yang diembankan kepada seseorang yang menjadi anggota partai. Dibalik hal tersebut entah apakah ada motiv yang diusung seseorang saat memasuki partai seperti memberikan akses kemudahan kepada dirinya, iming-iming memperkaya diri, maupun berusaha menggapai kekuasaan kiranya tidak bisa diketahui secara pastinya.
Berbicara mengenai partai politik seperti ironi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dimana hingga saat ini Penulis amati kiranya belum ada partai politik yang benar-benar mengapreasi suara rakyat seutuhnya, hanya sekedar embel-embel apreseasi suara rakyat yang selalu saja digaungkan dan seolah suara rakyat menjadi konsumsi perdebatan demi kepentingannya masing-masing partai. Menjadi sebuah pertanyaan "suara rakyat yang mana" tepatnya yang dikumandangkan, apakah suara rakyat yang masuk menjadi anggota partai politik semata? Maka inilah stigma negatif yang menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik di Indonesia, selama stigma negatif tersebut ada maka tidak akan pernah terwujud rasa percaya dari masyarakat kepada partai politik sebagaimana gambaran buruk bahwa "apa-apanya yang berkaitan dengan politik maka pasti akan kotor" tak terkecuali manusianya. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H