Komisi Penyiaran Indonesia atau stasiun televisinya yang lebay? Sejenak apa yang ada dibenak Penulis menyingkapi polemik aksi sensor membabi buta stasiun televisi dalam program tayangannya. KPI sebagai lembaga yang mengurusi tetek bengek penyusunan peraturan berikut pengawasan penyiaran di negeri ini dari pengamatan Penulis tidak pernah luput dari sorotan publik beberapa tahun terakhir, konsen utama bahwa sebagian masyarakat resah dengan kualitas program tayangan dan iklan yang beredar di televisi.
Umum apa yang masyarakat keluhkan prihal tidak sinkronnya tayangan dengan adat dan budaya masyarakat Indonesia, ragam tindak kekerasan hingga kebrutalan, konten berindikasikan pornografi dan pornoaksi, eksploitasi kaum perempuan, dan lain-lain sebagainya yang memungkinkan berdampak buruk bagi siapa pun yang menontonnya.
Sebelumnya ada hal yang masyarakat perlu ketahui dan apresiasi semenjak pergantian kepemimpinan di KPI dan semakin aktif masyarakat menyoroti kualitas program tayangan di televisi, KPI menjadi lembaga yang sangat pro aktif menanggapi baik masukan dan keluhan dari masyarakat. KPI berperan sebagai perantara masyarakat dengan stasiun televisi, memberikan tinjauan maupun penindakan (memberikan sanksi teguran tertulis hingga sanksi keras berupa pemberhentian sementara program tayangan) kepada stasiun televisi bersangkutan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas siarannya agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Disinilah awal polemik (pro kontra) di masyarakat timbul dimana masyarakat terpecah belah menjadi beragam opini, ada masyarakat yang acuh, ada masyarakat yang mengapresiasi kinerja KPI, ada masyarakat yang menilai kinerja KPI setengah hati, dan ada yang masyarakat yang justru menentang apa yang KPI lakukan. Khusus menyoroti sensor yang dilakukan oleh stasiun televisi bahwa disini banyak sekali masyarakat yang tidak paham bahwa sensor tersebut merupakan legitimasi dari apa saja konten-konten yang dilarang untuk dipertontonkan, akan tetapi keputusan melakukan sensor bukan ditangan KPI melainkan ada pada stasiun televisi.
Jika masyarakat yang protes dengan disensornya (blur atau disamarkan) perenang wanita dalam ajang olahraga, wanita dalam kontes kecantikan, atau film animasi maka itu adalah keputusan dari stasiun televisi yang menayangkan dan bukan KPI. Pertanyaannya mengapa stasiun televisi melakukan hal tersebut?
Sebagai stasiun televisi maka mereka wajib menjalankan ada yang tertera dalam peraturan penyiaran termasuk mentiadakan konten-konten yang telah diputuskan dilarang tayang. Hanya saja beberapa stasiun televisi disini Penulis beranggapan "over reacted" dalam mempresentasikan acuan pada peraturan prihal larangan tersebut.
Disini pihak stasiun televisi juga bukan dalam posisi untuk disalahkan sebagaimana respon mereka melakukan sensor secara berlebihan disebabkan bentuk kehati-hatian tidak ingin stasiun televisinya mendapatkan aduan dari masyarakat yang dapat berimbas kepada hak siar mereka. Fokus utamanya bahwa tindakan yang KPI lakukan kepada stasiun televisi merupakan bentuk progress dari aduan masyarakat yang masuk kepada KPI.
Pada hakikatnya baik masyarakat, KPI, dan stasiun televisi saat ini berupaya mengakomodir seperti apa tayangan yang berkualitas dimana mencakup mendidik, bermanfaat, dan bermartabat. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah dilingkup penyiaran, jadi masyarakat janganlah heran bilamana konten dalam tayangan di televisi masih gamang dan jangan juga dikeluhkan maupun dipermasalahkan karena tujuannya adalah untuk kebaikan bersama. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis. Terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI