Pedagang Kaki Lima (PKL) liar di area Monumen Nasional (Monas) masih saja menjadi pekerjaan rumah pemerintah kota, walaupun dilakukan penertiban tetap tidak menjamin para pedagang liar jera dan dikeesokan harinya kembali menimbulkan permasalahan yang sama. Pertanyaannya mengapa? Menanggapi permasalahan ini perlu kita cermati bersama prihal Monas itu sendiri, sebagaimana Monas merupakan wilayah wisata yang masuk kategori ring 1 dimana letaknya berdekatan dengan Istana Presiden tentunya keamanan serta kenyamanan menjadi prioritas wilayah tersebut. Akan tetapi tampaknya hal ini tidak bisa diterima oleh kalangan masyarakat tertentu sebagaimana tuntutan hidup memaksa diri mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ibukota Jakarta sebagai sentra pemerintahan menjadi daya tarik tersendiri individu-individu mengadu nasib untuk mengais rezeki, hanya saja daya tarik tersebut memunculkan permasalahan baru dimana urbanisasi tidak dapat terkontrol sehingga Jakarta kini sesak dan padat oleh populasi penduduk. Lonjakan populasi ini mengakibatkan lahan-lahan untuk mengais rezeki kian sempit dan pada akhirnya memaksa sebagian masyarakat melanggar peraturan yang ada dengan menempati tempat-tempat yang semustinya tidak diperbolehkan untuk masalah ini yaitu berjualan. Dilain pihak Monas selain berfungsi sebagai taman kota juga tempat wisata yang berpotensi menjadi magnet untuk menarik pengunjung dan dalam istilah berjualan dimana ada pengunjung maka disana ada peluang. Inilah inti permasalahan yang perlu dicarikan solusi karena langkah penertiban apapun dilakukan tampaknya tidak akan berdampak signifikan untuk menjadikan Monas menjadi tempat wisata yang aman dan nyaman.
Menangani Monas ibarat sebuah langkah yang serba salah selayaknya permasalahan Ibukota mempersoalkan masyarakatnya untuk dapat tertib peraturan. Setegas apapun bentuk peraturan tetap sulit untuk menggiring masyarakat Jakarta yang sudah terbiasa hidup dengan peraturan yang angin-anginan dalam pengertian hari ini tegas besok hari tidak maupun segala bentuk pelanggaran dapat dinegosiasikan (terselesaikan) di tempat asalkan ada uang. Menindaklanjuti permasalah penertiban ini seringkali dibentrokkan dengan moral, dimana langkah mediasi seolah percuma sedangkan dengan cara represif dianggap salah dan tidak berprikemanusiaan.
Inilah yang perlu direnungkan, menciptakan pribadi yang taat akan peraturan bukanlah sebuah perkara mudah. Walaupun individu tersebut dibilang orang berpendidikan namun ego selaku pribadi yang punya hak seolah diatas peraturan dan kepentingan banyak orang. Untuk menghadapi sosok-sosok individu seperti itu sudah tidaklah lagi mempan dengan hanya teguran dan sanksi denda, namun perlu kiranya diberlakukan sanksi yang lebih keras dalam bentuk progresif. Sanksi progresif yaitu setiap pelanggaran yang dilakukan individu terdata dalam suatu database khusus untuk segala jenis bentuk pelanggaran dimana setiap pelanggaran yang dilakukannya akan mendapatkan sanksi bertingkat, berawal dari teguran hingga sahnya bentuk penahanan. Hal ini pun perlu dibarengi konsistensi dari pemerintahan kota dan aparat yang bersangkutan sehingga sanksi progresif ini dapat benar-benar efektif, tidak pandang bulu, tidak ada tawar menawar, dan untuk kebaikan bersama. Kiranya dengan cara seperti itu semoga dapat menumbuhkan individu-individu khususnya masyarakat Ibukota agar taat dengan peraturan sehingga Jakarta dapat kita nikmati bersama. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H