Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Konsumen di Indonesia Hanyalah Banyolan

27 Maret 2016   10:51 Diperbarui: 27 Maret 2016   11:32 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar dianggap oleh banyak kalangan sebagai pangsa pasar yang potensial atau menjanjikan. Faktor masihnya Indonesia sebagai negara berkembang menjadikan negara ini serba ketergantungan disebabkan Indonesia belum bisa memenuhi segala kebutuhannya. Nilai import Indonesia yang tinggi bisa menjadi cerminannya, dampak dari hal tersebut adalah prilaku konsumerisme yang terjadi pada masyarakat Indonesia.

Dalam dunia usaha seringkali kita mendengar kalimat bahwa pembeli adalah raja, sebuah gambaran dengan kata lain bahwa anda selaku konsumen berhak mendapatkan pelayanan yang baik. Mengapa? Karena pelayanan adalah kewajiban dari pelaku usaha dan bukan menjadi tanggungjawab atau dibebankan ke konsumen. Mereka (pelaku usaha) yang membutuhkan konsumen dan tanpa konsumen maka usaha mereka takkan berjalan. Tetapi bagaimana realitanya? Dalam artikel ini Penulis akan mengambil dua contoh kasus yaitu perihal plastik berbayar dan pelayanan CS operator seluler.

Pada bulan lalu plastik berbayar menjadi primadona pemberitaan media, momentum Hari Peduli Sampah Nasional menjadi pokok perhatian masyarakat akan kondisi sampah plastik di Indonesia yang memprihatinkan. Dalam hal ini himbauan dan ajakan agar masyarakat lebih peduli lingkungan terhadap dampak limbah plastik di satu pihak melahirkan wacana plastik berbayar yang saat ini telah diujicobakan. Kini anda diharuskan membayar Rp.200,- dari setiap plastik yang anda gunakan di pusat-pusat perbelanjaan (tertentu).

Pertanyaannya sekarang mengapa ada nilai Rp.200,- tersebut? Jika masyarakat dihimbau untuk peduli lingkungan akan limbah plastik, mengapa tidak tiadakan saja kantong plastik di pusat-pusat perbelanjaan? Mengapa tidak menghimbau masyarakat untuk gunakan wadah lain selain plastik ketika berbelanja atau himbauan lainnya. Rp.200,- mungkin nilai yang tidak seberapa bagi konsumen tetapi mengapa justru dibebankan kepada konsumen?

Dimana pembelajaran agar masyarakat peduli terhadap lingkungan jika demikian? Logisnya sebelum plastik berbayar diterapkan maka kantong plastik menjadi bagian dari pelayanan bahwa pelaku usaha perlu menyediakannya, tetapi kini justru berbalik dimana konsumen dihadapkan pilihan membelinya atau tidak. Perlu ditindaklanjuti penerapan akan plastik berbayar ini, apakah ada dampak signifikan (bagi lingkungan) yang dihasilkan ataukah hanya menjadi kedok bisnis semata.

Kasus kedua yaitu pelayanan CS operator selular. Anda tentu tahu bahwa perkembangan telepon selular seiring tahun terus meningkat yang tentunya menjadi ladang bagi operator selular di Indonesia berlomba-lomba menarik calon konsumen menjadi pelanggannya. Semakin banyak pelanggan maka menjadi kewajiban bagi operator selular untuk meningkatkan mutu pelayanannya. Tetapi realitanya tidak bagi sebagian operator selular yang malah memperlakukan pelanggannya layaknya sapi perah.

Salah satu contoh yaitu pelayanan CS by phone dimana konsumen malah dikenakan biaya dengan dalih guna meningkatkan pelayanan. Bagi Penulis apa yang dilakukan oleh operator selular sesuatu hal yang teramat konyol dan sepihak. Selaku konsumen semisal anda dihadapkan kondisi membutuhkan bantuan CS untuk mendapatkan informasi atau solusi bagi masalah yang anda hadapi tetapi anda harus terlebih dahulu membayar? Dalam gambaran contoh lainnya seperti anda sedang tersesat dan menanyakan arah kepada warga setempat namun orang tersebut meminta sejumlah uang sebelum menjawabnya maka dimana sisi moralitasnya.

Dari dua contoh diatas selayaknya mewakili gambaran betapa minimnya nilai sebagai konsumen di Indonesia, tingkat konsumerisme yang tinggi justru dijadikan lahan bisnis segelintir pihak untuk mengais keuntungan. Sudah bukan rahasia lagi di negeri ini jika harga fantastis dibarengi pelayanan kaki lima dan hak sebagai konsumen diinjak-injak. Lalu siapa yang bertanggungjawab akan hal ini dan dimanakah mereka sekarang, tanyakan kepada rumput yang bergoyang karena selaku konsumen di Indonesia hanyalah banyolan. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun