Beberapa tahun lalu setelah Penulis selesai proses wawancara pekerjaan, Penulis pun beranjak ke parkiran motor untuk segera pulang. Disaat bersamaan sudah menunggu seorang satpam yang memegang ID Penulis untuk diserahkan. Ketika Penulis ingin memberikan sekedar uang kepadanya, satpam itupun menolaknya, ia berkata "tidak usah mas, simpan saja karena disini tidak diperbolehkan". Mengetahui hal tersebut Penulis pun berjalan ke motor terparkir dan satpamitu ikut mengiringi. Ketika Penulis sedang mengenakan jaket, satpam tersebut menghampiri dan alhasil kami berdua berbincang cukup lama.
Berawal dari pertanyaan mengenai psikotest dan wawancara pekerjaan kemudian dilanjuti dimana tempat tinggal serta tempat bekerja Penulis sebelumnya. Satpam pun bertanya "apa mas sudah menikah? Penulis pun menjawab "belum pak, kerja saja belum, mengurus diri sendiri saja belum bisa, dan masih tinggal dengan orang tua, ibadah masih banyak bolong, bagaimana saya bisa menghidupi keluarga dengan keadaan seperti itu". Lalu satpam kembali bertanya, "nah sekarang umur mas berapa?" dan Penulis segera menjawab, "sekarang 29 Pak". Satpam menanggapinya jawaban Penulis dengan berkata "wah, seharusnya diumur segitu sudah menikah mas, paling tidak sudah punya anak 1 karena paling ideal menikah itu diumur diantara 24 dan 26". Satpam kembali bertanya, "kira-kira mas bisa tebak enggak saya menikah umur berapa?".
Apa mau dikata dengan perasaan sedikit illfeel bagaimanapun Penulis harus tetap menghormatinya, sedikit memilah pembicaraan sebelumnya dan Penulis menjawab "hmm, 22 pak". Satpam merasa terkejut dikarenakan jawaban yang Penulis utarakan kepadanya ternyata benar. Satpam itu pun menceritakan kisahnya, "betul mas, saya menikah pada umur 22 tahun, entah apa yang saya pikirkan waktu itu hingga sampai menikah diumur tersebut. Dulu saya hanya sekedar pekerja kasar angkut-angkut barang istilahnya kuli pasar, namun dikala Allah sudah berkehendak dan telah mempersiapkan jodoh saya akhirnya saya pun menikah, kalau dibilang modal nekat mas. Tetapi saya ingat bahwa menikah itu ibadah dan dengan menikah Allah akan menambah rejeki, dikarenakan Allah telah mempertemukan jodoh saya maka saya pun menikah. Saya juga berpikir seandainya saya menikah di umur tua dan dikala anak-anak mulai beranjak dewasa apakah fisik saya memadai untuk menafkahi keluarga saya terlebih lagi saya pekerja kasar layaknya sekarang bertanggungjawab seluruhnya atas gedung yang sebesar ini. Ketika anak mulai lahir dan Allah telah berjanji akan menambahkan rejeki, maka bersyukur ada saja rejeki mas."
Penulis pun tersenyum dan berkata, "benar Pak, Allah akan menambahkan rejeki bagi mereka yang menikah. Akan tetapi saya bukan orang yang berani mengambil resiko, terlebih lagi mempertaruhkan hidup keluarga saya nantinya. Saya pernah mendengar ceramah yang berisikan demikian "bahwa seorang pria yang saleh selalu memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi dan saya belum yakin bahwa saya bisa untuk segera menikah saat ini". Kemudian satpam berkata, "ya mungkin nanti pada saatnya mas, seketika Allah memberikan keberanian untuk mas menikah dan telah mempersiapkan jodoh tentunya". Penulis menanggapi "ya semoga pak, inilah hidup saya. Saat ini Allah memberikan ujian kepada saya untuk mencari pekerjaan dan kelak Allah berkenan mempercayakan jodoh kepada saya".
Dari percakapan diatas apa yang Penulis dapat ambil bahwa prihal jodoh perlu didasari oleh rasa yakin akan kemampuan diri pribadi seperti gambaran satpam tersebut. Niat ia baik, tujuannya jelas, calonnya pun sudah ada, dan ia memiliki keyakinan walaupun keadaannya tidak menentu, tak seperti Penulis dimana masih diliputi oleh rasa keraguan serta kekhawatiran. Ketika menikah maka sebenarnya kita sudah memasuki lingkup memikirkan masa depan yang setiap manusia tidak akan pernah tahu keadaannya nanti seperti apa, tetap perlu dipikirkan namun tidak berarti pribadi hanyut oleh rasa ketidakpastian yang pada akhirnya jalan ditempat dan gagal untuk move on. Yakinlah setiap niat baik maka Allah akan selalu beri jalan dan ketika anda membuat keputusan untuk melanjutkan hidup ke jenjang pernikahan membangun bahtera rumah tangga maka yang perlu anda ingat bahwa ada bentuk tanggungjawab disana dan teruslah berusaha sebaik mungkin meraih kebahagiaan dengan menempuh jalan yang Allah kehendaki. Niat baik disertai tujuan baik maka hasilnya pun akan baik pula. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H