Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja bagai disambar petir di siang hari seorang suami memposting kekesalannya akibat ulah sang istri di media sosial. Untuk sebagian kalangan orang, cekcok dalam rumah tangga ibarat bumbu penyedap asalkan tidak kebanyakan sehingga menyebabkan makanan tidak sedap atau rumah tangga bubaran.
Sang suami tampak begitu emosi dalam menuliskan kejelekan prilaku sang istri sebagai gambaran kebencian dan rasa kecewa, dalam salah satu statusnya dituliskan "dasar wanita murahan, menyesal juga gue nikahi". Sontak reaksi bermunculan terutama kerabat-kerabat yang mengenal baik si suami maupun istri, masing-masing mengemukakan pendapatnya.
Ada yang berusaha menenangkan suasana, "sabar bro, jangan begitu ente kan kepala keluarga". Ada pula yang memprovokasi, "gue bilang juga apa, menyesalkan lo sekarang". Ada yang pro kepada suami, "sudah ceraikan saja istri macam begitu". Ada pula yang pro kepada istri, "eh jaga itu mulut ya, memang elo saja sebagai suami tidak bisa mimpin keluarga". Dan tidak pula ketinggalan yang menjadikannya banyolan, "tragedi ranjang ambruk nih". Dalam waktu sangat singkat media sosial yang tadinya untuk menjalin pertemanan dan silaturahmi berubah total menjadi ajang perang kosa kata yang seolah tidak ada ujungnya.
Disaat luapan emosi pihak-pihak yang bertikai mulai rada reda, masuklah postingan dari kerabat dekat yang berkata, "untuk apa masalah keluarga malah menjadi konsumsi publik bukankah itu seharusnya jadi privasi hubungan antara suami istri, kalaupun harus diselesaikan bukan mengumbarnya ke media sosial namun bisa dilakukan konsultasi oleh kedua belah pihak mengikutsertakan orang tua masing-masing untuk menyelesaikan masalah". Dari sini coba kita koreksi kembali, apa yang dikatakan oleh kerabat dekat ini menurut anda logis atau tidak?
Dalam kasus pertikaian antara suami dan istri ini walaupun tidak menghadirkan sosok istri yang ikutan mengomentari apa yang suaminya katakan di media sosial, secara tidak langsung sudah memberikan citra buruk kepada suami sebagai kepala rumah tangga. Mengapa demikian?
Apa yang menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana orang lain dapat menyimpulkan sedangkan orang tersebut tidak mengetahui persis seluk beluk dalamnya rumah tangga bersangkutan? Jawabannya apakah semua orang yang berkomentar itu tahu tepatnya apa inti permasalahan. Ketika masuk ke ranah media sosial maka pertikaian tersebut menjadi konsumsi publik dan tentunya apapun bentuk alasannya tidak etis tanpa pengecualian. Jadi alangkah lucu semisalkan si suami berkata, "ngapain anda berkomentar?, memangnya anda siapa?, memang anda tahu apa?", dimana pertanyaan utama yang seharusnya disadari oleh sang suami, " kenapa anda membawa masalah keluarga yang sifatnya privasi ke media sosial dimana kebanyakan orang lain tidak tahu masalahnya apa?".
Percaya tidak percaya kasus seperti ini masih Penulis temui, beberapa kerabat merupakan pasangan baru yang kiranya masih labil menempatkan diri mereka layaknya masih pacaran. Padahal secara resmi mereka telah menjadi pasangan suami istri yang sepatutnya memperlihatkan kedewasaan dalam berpola pikir. Alhasil selalu Penulis ingatkan dalam status yang Penulis tuliskan bahwa, "istri layaknya harta bagi suami dan suami layaknya baju yang istri kenakan".
Dalam pemahaman kasus ketika suami menilai buruk istrinya, secara tidak langsung ia pun memperlihatkan keburukannya dan lebih parahnya lagi orang lain secara luas mengetahuinya. Oleh karena itu disini Penulis menyarankan berhati-hatilah dalam memposting di media sosial khususnya suami istri, mau itu kabar baik maupun buruk yang dialami seharusnya suami istri paham benar di lingkup mana mereka bawakan. Bahkan Penulis menyarankan ketika anda sudah berkeluarga ada lebih baiknya kurangi interaksi di media sosial dikarenakan selain orang lain dapat mengetahui kehidupan anda juga rentan menimbulkan masalah yang pada akhirnya kerugian yang dialami suami istri tetapi bukannya orang lain yang justru menikmati. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H