Sebelum memulai artikel ini, Penulis pertama-tama memohon izin kepada mimin Kompasiana dan menegaskan bahwa isi dari artikel ini tidak berkaitan dengan SARA (Suku, Ras, Agama, Antar Golongan) maupun mengumbar kebencian. Oleh karenanya mohon dibaca sampai habis. Artikel ini Penulis buat murni bertujuan untuk mengedukasi agar sebagai individu berpikir secara cermat, cerdas, dan bijak dalam menyingkapi suatu hal.
Seperti kalian ketahui bahwa belakangan ini umat Muslim diseluruh dunia sedang digemparkan oleh sebuah provokasi yang dilakukan seorang politisi di Swedia dengan upaya membakar kitab suci Al Qur'an dengan dalih kebebasan berekspresi serta bertujuan agar negara-nya diterima sebagai anggota NATO.
Alhasil tindakan provokasi dikecam baik di dalam negeri maupun dunia serta memantik aksi demonstrasi di negara berpenduduk Muslim tak terkecuali di Indonesia. Sebagai bentuk keberatan atas tindakan provokasi itu pada pekan lalu Indonesia telah memanggil Duta Besar Swedia dan menyatakan bahwa tindakan tersebut telah melukai dan menodai toleransi umat beragama.
Ok sekarang kita akan masuk pada materi utamanya. Sebagai informasi bahwa kitab suci Al Qur'an ialah satu dari sekian mukjizat terbesar yang dimiliki oleh Rasulullah atau Nabi Muhammad saw. Al Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dan pertama kali diturunkan di Gua Hira sebagai wahyu Allah Swt serta sebagai pedoman hidup sehari-hari bagi umat manusia.
"Salah satu tanda-tanda dari akhir zaman ialah diangkatnya ilmu dan fenomena kebodohan".
Sebagaimana kalian ketahui bahwa berdasarkan informasi si pelaku aksi pembakaran menyatakan bahwa ia tidak niatan untuk berhenti melakukan provokasi tersebut sampai tujuannya tercapai. Miris tetapi di satu sisi sebagai umat beragama yang menjunjung toleransi maka kita juga mewanti-wanti akan aksi serupa ataupun lebih provokatif oleh pihak tidak bertanggungjawab di kemudian hari. Lantas pertanyaannya, bagaimana kita menyingkapinya?
Prihal aksi pembakaran kitab suci Al Qur'an, sebagai seorang Muslim maka Penulis pun turut mengecam hal tersebut sebagai tindak provokasi dan tidak bertanggungjawab. Namun di satu kondisi sebetulnya Penulis jauh lebih prihatin dibalik aksi itu terhadap apa yang terjadi disekeliling kita.
Apa yang Penulis maksudkan disini ialah jika saja aksi provokasi tersebut secara terus menerus dilakukan maka apakah cukup dengan umat Muslim di Indonesia melakukan demo berjilid-jilid sebagai bentuk kecaman?
"Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap." (HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Jika mengacu kepada petikan hadist diatas maka sebetulnya sebagai umat tidak perlu bereaksi berlebihan. Betul bahwa aksi pembakaran kitab suci Al Qur'an menimbulkan reaksi, akan tetapi secara logika untuk apa merespon orang yang sedang sakit atau ibaratnya seorang pandai besi? Toh apakah yang melakukan aksi itu seorang Muslim? Apakah ia paham akan mukjizat yang ada pada dalam Al Qur'an? Bukankah sudah ada perwakilan Pemerintah guna mengakomodir bentuk keberatan?