"Pemulung saja ada jodohnya.."
Kalimat diatas adalah kalimat yang kerap Penulis ingat guna memotivasi diri untuk berkeinginan berkeluarga. Kenapa demikian?
Suatu ketika saat Penulis hendak menuju suatu tempat, dalam perjalanan Penulis berpapasan dengan sekelompok pemulung yang sedang beristirahat di pinggir jalan. Sekilas Penulis amati diantara para pemulung salah satu dari mereka membawa istri dan anaknya.
Melihat hal tersebut timbul rasa iba, tetapi muncul pula rasa iri. Tak terbayangkan dibenak Penulis bagaimana hidup berkeluarga hanya dengan menjadi pemulung, beragam pertanyaan hadir seperti bagaimana cara mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bagaimana masa depan anak-anak, dan sebagainya, dan sebagainya.
Namun dibalut rasa penasaran tersebut, bahwa satu hal yang Penulis sadari ialah mereka lebih baik dari Penulis. Bagaimana tidak, notabene mereka yang hidup serba pas-pasan justru mendapatkan kelebihan yaitu dapat hidup berkeluarga. Sebaliknya, Penulis yang bersyukur segala kebutuhan hidup terpenuhi justru masih single a.k.a jomblo hingga sekarang.
Cerita berikutnya. Suatu hari tukang penjual Sate di tempat Penulis tinggal berkata, "masa sih kalah sama si A, A yang begitu saja sudah menikah punya istri dan anak". Ia menambahkan bahwa suatu hari istri A yang seorang ART membeli sate berucap demikian, "tidak apa-apa saya jelek tetapi saya masih laku dan punya anak, ketimbang banyak yang ganteng dan cantik malah enggak laku-laku".
Mendengar hal tersebut Penulis hanya bisa tertawa. Terdengar pahit, tetapi seperti itulah realita. Toh dari sekian teori kalau-kalau manusia yang diberikan kelebihan apakah itu secara fisik maupun materi akan tetapi tidak menjamin memudahkan mereka menemukan jodohnya. Lantas apa sih kira-kiranya yang kurang?
Bilamana kita telaah lebih lanjut, acapkali orang-orang yang memiliki kelebihan justru yang menjadikan dirinya susah menemukan jodoh. Sebab-sebab diantaranya :
1. Standarisasi terlampau tinggi
Ini kiranya bukan rahasia lagi kalau mereka yang secara teori memiliki kelebihan baik fisik maupun materi mempunyai standar atau ekspektasi tinggi terhadap seperti apa pasangan hidupnya kelak. Orang-orang berpola pikir seperti ini selalu mengedepankan pasangan hidup sesuai imajinasinya.
Alhasil seiring waktu mereka seolah terperangkap dengan standarisasi yang mereka buat sendiri. Disaat kerabat-kerabatnya telah move on dengan lembaran barunya, ia masih hidup sendiri berimajinasi dengan pasangan hidup impiannya.