Kisruh dualisme partai Demokrat antara kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kubu Moeldoko hingga kini masih berlangsung dan belum memberi tanda kapan akan usai. Pasca KLB Deli Serdang, AHY bergegas mengambil langkah dengan mendatangi sejumlah pihak guna memastikan legalitas partai yang dipimpinnya.
Diantara pihak-pihak yang dikunjungi oleh AHY ialah pertemuannya dengan Jusuf Kalla pada Minggu (14/3).
Dalam pertemuan yang berlangsung selama lebih dari satu jam itu, AHY meminta saran kepada JK terkait kisruh yang dialami Partai Demokrat belakangan ini.
Terkait permasalahan yang terjadi di tubuh Partai Demokrat, JK berpesan kepada AHY sebagai pimpinan Partai Demokrat agar bersabar. JK bercerita bahwa Partai Golkar juga pernah mengalami hal serupa.
Pada akhir pertemuan, JK berpesan agar AHY terus menjalin silaturahmi dan komunikasi dengan tokoh-tokoh politik maupun tokoh-tokoh nasional lainnya.
Dikutip dari keterangan tertulis yang disampaikan Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra. AHY berujar, "Kedatangan kami pagi ini utamanya adalah untuk bersilaturahmi. Bagaimana pun Partai Demokrat memiliki hubungan sejarah politik yang sangat baik dengan Pak JK, Pak JK pernah menjadi Wakil Presiden mendampingi Bapak SBY. Partai Demokrat juga menjadi mitra strategis bagi Partai Golkar saat dipimpin oleh Pak JK sebagai Ketua Umum". - Kompas TV
Menanggapi pertemuan AHY dengan Jusuf Kalla bagi Penulis pribadi menilainya sebagai momentum yang menarik. Lepas dari maksud tujuan silaturahmi yang AHY ungkapkan, bahwasanya kunjungannya tetap mengundang perhatian.
Kiranya prihal hubungan sejarah antara JK dan Partai Demokrat bukan hal tabu, karena sebagaimana AHY ungkapkan bahwa JK pernah menjadi Wakil Presiden mendampingi SBY.
Akan tetapi apakah kunjungan AHY hanya dilatarbelakangi romantika Partai Demokrat dan JK?
Kiranya tidak bisa dipandang demikian sederhananya. Walau JK pernah menjadi wakil SBY pada periode 2004-2009, masyarakat pun tahu bahwa JK juga pernah menjadi wakil Jokowi di periode 2014-2019. Dengan kata lain, kedekatan JK dengan sosok-sosok di Istana masih lekat dan sekiranya dapat menggambarkan situasi kondisi disana.
Kemudian sebagai seorang pengusaha dan politisi, JK sudah malang melintang di ranah perpolitikan tanah air. Pengalamannya saat menjadi Ketum Golkar (2004-2009) bisa menjadi masukan bagi AHY akan bagaimana sosok pemimpin bersikap.
Hal yang mungkin perlu dikagumi dari sosok JK dari penelusuran Penulis ialah kiranya ia belum pernah sekalipun terdengar berseteru dengan pihak-pihak maupun tokoh manapun. Hal ini menandakan bahwa JK merupakan tokoh berpengaruh serta disegani oleh kawan maupun lawan politiknya.
Sebagai tambahan, JK pun pernah tercatat berperan penting sebagai mediator atau juru damai terhadap sejumlah konflik baik lingkup SARA, olahraga, maupun politik. Salah satunya yaitu ia berperan sebagai mediator saat dualisme Partai Golkar antara kubu Agung Laksono dengan kubu Aburizal Bakrie.
Lantas dari sekian hal yang Penulis jabarkan, apakah mungkin kiranya JK akan menjadi juru selamat terhadap dualisme yang terjadi dalam Partai Demokrat?
Ini yang tidak kita ketahui. Sebagai tokoh terpandang bahwasanya JK bisa menempatkan dirinya di posisi strategis kapanpun dan dimanapun ia dibutuhkan. Kiranya bukan hal mengejutkan jikalau JK turut serta sebagai mediator dalam dualisme Partai Demokrat semata-mata demi menolong SBY. Tetapi yang jadi pertanyaan Penulis ialah apakah posisi AHY akan tetap aman?
Karena dalam pertemuan itupun JK berpesan kepada AHY bahwa regenerasi di partai politik itu penting. Namun JK juga mengingatkan agar Demokrat tetap memikirkan pemilih tradisional.
Entah apa yang dimaksud JK dengan pemilih tradisional, apakah mereka para pemilih yang tidak mengidolakan adanya politik dinasti?
Sebagaimana pernah Penulis ungkapkan pula bahwasanya memang sebagai partai, Demokrat telah melakukan regenerasi politik dengan berpindahnya tongkat estafet dari SBY ke AHY. Akan tetapi kita bersama tahu bahwa publik hingga kini masih mempertanyakan apakah regenerasi Partai Demokrat ini apakah berlandaskan pertalian darah ataukah kompetensi sebagai pemimpin?
Entah apakah publik yang lain juga menyadarinya, bahwa Partai Demokrat seperti kopong isinya karena sangat minimnya kader-kader yang bisa menarik simpati masyarakat pada umumnya dan mengapa menjadi penyebab partai ini seolah kesulitan untuk bangkit kembali.
Seandainya saja JK benar menjadi mediator dan kisruh dualisme Partai Demokrat selesai kemudian AHY dengan legowo berkorban demi keutuhan partai maka apakah Demokrat dapat 180 derajat berubah seperti apa yang diharapkan?
Tentu kita juga tidak akan tahu pasti, namun sebagaimana orang katakan sosok Ketum menentukan visi dan misi partai berikut pula masa depannya. Seorang Ketum tidak hanya mendengarkan apa pandangan kadernya tetapi mampu pula mengarahkan para kader agar mewujudkan motif politiknya.
Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
___
Sumber : Kompas TV, Liputan 6, Merdeka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H