Terjaringnya dua menteri dalam kasus korupsi oleh KPK yakni Menteri KKP Edhy Prabowo dan Mensos Juliari P Batubara semakin mengecangkan isu reshuffle di Kabinet Kerja Jokowi. Bahkan media tanah air serentak mengabarkan bahwa reshuffle kabinet akan dilakukan pada Hari Rabu, 23 Desember 2020.Â
Menurut isu yang beredar ada sekitar enam sampai delapan posisi menteri yang diganti termasuk dua posisi menteri yang lowong. Beberapa nama besar masuk dalam bursa perombakan kabinet, seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Walikota Solo FX Rudyatmo, hingga Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno.
Walau mayoritas partai menyatakan bahwa pemilihan posisi menteri-menteri mana saja serta siapa-siapa saja kandidat menggantikannya diserahkan seluruhnya kepada Presiden Jokowi, nyatanya isu reshuffle ini tetap menarik perhatian.
Lepas kaitan laporan minimnya kinerja menteri selama setahun menjabat terhadap menguatnya isu reshuffle, publik meyakini bahwa pergantian menteri ini disinyalir tidak lepas dari kepentingan politik para partai pendukung pemerintahan.Â
Alhasil reshuffle kabinet seperti diibaratkan lelang jabatan. Bukan kepada siapa yang berkomitmen melayani bangsa, melainkan lebih kepada siapa kader yang punya nilai tawar tinggi dan menguntungkan.
Menanggapi hal diatas dalam beberapa kesempatan isu reshuffle mengemuka, Penulis kerap menyatakan bahwa reshuffle atau pergantian kabinet tidak merujuk pada desakan maupun oleh giringan opini seperti sebelum-sebelumnya.
Namun kondisi saat ini jelas jauh berbeda. Walau atmosfer politik lagi adem-ademnya, momentum dua posisi lowong menteri karena terjerat kasus korupsi maka mau tidak mau opsi reshuffle perlu dilakukan.Â
Kenapa tidak hanya dua posisi menteri bermasalahan saja yang dilantik? Jelas saja nanggung kalau hanya dua. Presiden Jokowi kiranya sudah mendapatkan bagaimana rapor kinerja dari masing-masing kementerian dan bagaimana respon publik terhadap bagaimana kepemimpinan para menteri selama menjabat.
Walaupun demikian Penulis pun tidak menjamin hal tersebut jadi patokan karena menurut penilaian Penulis bahwa ada beberapa sektor kementerian yang terus disorot oleh media dan ada pula yang tidak. Dengan kata lain media punya peranan besar dalam setiap kali reshuffle terjadi dan menteri-menteri baik yang diganti dan yang tidak lebih kepada persona mereka.
Citra inilah yang menjadi momok setiap kali isu reshuffle mencuat dan sebenarnya juga mengkhawatirkan.Â
Jika reshuffle lebih condong kepada sosok siapa-siapa kader nilai tawar tinggi serta menguntungkan dan bukan kepada atau tidak berporos kepada sisi kepribadian semisalkan jujur, memiliki etos kerja tinggi dan jiwa melayani, tidak serakah maka niscaya kepemimpinan yang ada tidak ada manfaatnya sama sekali. Kasar katanya, kalau Anda menempatkan seorang maling di pucuk pimpinan maka tujuh turunan anak buahnya pun akan bermental maling.