sertifikasi penceramah pada akhir tahun 2019 lalu. Ia mengeluhkan banyaknya penceramah yang membodohi umat lewat ceramah. Program sertifikasi bagi penceramah ini kemudian menuai polemik di masyarakat.
Sebelumnya Menteri Agama Fachrul Razi mencanangkan programBeberapa tokoh publik pun turut bersuara mengenai program sertifikasi ini, seperti Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas yang menyatakan siap mundur dari jabatannya jika MUI terlibat dalam program sertifikasi penceramah Kemenag.
Kemudian Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad yang juga menolak program tersebut. Ia mengungkapkan dai yang berasal dari ormas maupun swasta tak perlu mengikuti program sertifikasi penceramah. Menurutnya sertifikasi penceramah hanya cocok diterapkan bagi penceramah formal yang digaji oleh negara.
Lalu ada Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif yang menilai Kemenag kurang kerjaan membuat program tersebut. Slamet mengatakan bahwa sertifikasi penceramah lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat bagi penceramah dan umat Islam. Ia pun menyatakan kalau sejumlah ustaz yang bergabung dalam PA 212 tidak akan mengikuti program tersebut.
Mengacu kepada polemik yang terjadi, khususnya Penulis sebagai umat justru hanya bisa tersenyum miris. Karena dibenak Penulis, apa yang diributkan oleh para tokoh sebenarnya  tidak menyentuh inti permasalahan dari polemik ini.
Kalau boleh jujur-jujuran nih, apa yang dikeluhkan oleh Menteri Agama Fachrul Razi ada betulnya. Kalau ada penceramah yang membodohi umat lewat ceramahnya toh memang ada, walau tak banyak namun Penulis sebagai umat pernah menemukannya.
Apa yang dimaksudkan penceramah yang membodohi umat lewat ceramahnya? Begini, pada kenyataannya ada penceramah yang menggunakan mimbar bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat akan pola pikirnya.
Pola pikir yang macam bagaimana? Ketimbang mengisi khotbah dengan materi agar pribadi memperdalam ilmu agama, meningkatkan kualitas ibadah, dan lebih mendekatkan diri kepada Allah ta'ala, para penceramah ini justru seperti curhat atau mengeluarkan unek-uneknya terhadap suatu isu dimana hal tersebut dikait-kaitkan kepada ajaran agama guna menjadi suatu pembenaran.
Sebagai contoh kecil, Anda ingat panasnya Pemilihan Presiden 2019? Bisa dikatakan Penulis hampir dibuat mabuk karena khotbah yang pernah Penulis hadiri diisi oleh materi yang menghendaki agar umat memilih calon tertentu dan menjelek-jelekkan calon lain. Lucunya Penulis ini Golput dan Allah berkata lain dimana segala kisruh panjang Pilpres 2019 berakhir dengan kubu Jokowi dan Prabowo duduk dalam satu perahu. Ironis bukan.
Pada intinya apa? Bahwanya ada penceramah dimana isi materi ceramahnya tidak relevan dikemukakan ke publik, ya itu memang benar. Tetapi apakah guna menyaringnya maka perlu diadakannya program sertifikasi penceramah, nah itu perlu dikaji secara mendalam lagi.
Kenapa Penulis katakan demikian? Karena terkait polemik sertifikasi penceramah umum apa yang dipermasalahkan lebih menjurus kepada kepentingan politik.