Pernahkah Anda-anda memperhatikan pemberitaan akhir-akhir ini oleh media. Ya belakangan ini media ramai-ramai menyoroti akan tingginya kasus Covid-19 yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Sebagaimana Anda ketahui, Indonesia mengalami lonjakan kasus pasien positif Covid-19 secara signifikan, rata-rata sekitar 2000 s.d 3000-an kasus per-harinya. Hingga tanggal 6 September 2020, tercatat jumlah kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia mencapai 194 ribu dimana wilayah Jakarta menjadi wilayah dengan kasus aktif tertinggi yaitu sebanyak 45.157 kasus, disusul oleh Jawa Timur sebanyak 35.331 kasus, dan Jawa Tengah sebanyak 15.118 kasus.
Tingginya jumlah kasus pasien positif Covid-19 ini pun menimbulkan kekhawatiran beragam kalangan bukan hanya kepada situasi kondisi pandemi Covid-19 terkini di Indonesia melainkan pula keseriusan penanganan Covid-19 oleh pemerintah.
Para pakar epidemiologi bersuara bahwasanya Indonesia kemungkinan baru akan menghadapi puncak dari pandemi Covid-19 pada awal tahun 2021 mendatang. Mayoritas mengatakan bilamana pemerintah tidak serius menangani pandemi ini maka dikhawatirkan timbulnya dampak yang lebih besar yaitu kurangnya ruang perawatan khusus bagi pasien positif Covid-19 serta ketersediaan tenaga medis.
Mengetahui hal tersebut pemerintah segera bertindak, para kepala daerah berinisiatif mempertegas kebijakan akan protokol kesehatan guna mencegah penularan seperti pemberian sanksi sosial atau denda bagi warga yang tidak mengenakan masker, dimasukkan ke peti mati, diarak ke makam, hingga pemberlakuan jam malam.
Namun apakah hal itu semua dirasa cukup mampu meminimalisir jumlah kasus positif Covid-19?
Jika ditelaah lebih lanjut problematika utama yang dihadapi pemerintah saat pandemi ini ialah ketidakdisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan. Kita kiranya mafhum bahwa urusan perut jadi prioritas utama masyarakat. Bagi mereka resiko tertular pandemi merupakan sebuah konsekuensi yang mungkin mereka terima, akan tetapi resiko tersebut belum ada apa-apanya ketimbang ketakutan akan mati kelaparan dengan tidak adanya penghasilan.
Boleh jadi ada bantuan pemerintah saat pandemi sedang berlangsung, namun yang jadi inti persoalan nilai bantuan tersebut tidak mampu menutupi biaya hidup keseluruhan warga.
Melihat kondisi diatas memang bisa dikatakan sulit dengan apa yang dihadapi pemerintah. Ibarat buah simalakama, satu sisi ancaman Covid-19 masih besar adanya, sedangkan di sisi lain roda perekonomian musti tetap berjalan.
Namun upaya "menakuti" masyarakat dengan mengekspos di media imbas menakutkan jika pandemi Covid-19 tidak tertangani dengan serius pun menurut Penulis pribadi langkah tersebut amatlah tidak efisien. Toh secara realita masyarakat Indonesia mayoritas memang bebal terhadap peraturan dan kurang rasa kepedulian terhadap sesama.
Sejatinya akan lebih baik pemerintah mulai bertindak tegas kepada warganya. Jika memang mobilitas warga yang menjadi kendalanya (penularan yang disebabkan Orang Tanpa Gejala) maka seharusnya pemerintah fokus untuk memonitoring warga dengan melakukan tes PCR SWAB secara masif, mengawasi para OTG yang menjadi ancaman penularan, menemukan bagaimana cara membatasi mobilitas warga agar lebih efisien, memastikan roda perekonomian warga tetap berjalan, dan mengedukasi warga secara terus menerus agar patuh terhadap protokol kesehatan.