Video pernyataan keras yang disampaikan Presiden Jokowi saat sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020) yang diunggah melalui kanal Youtube Sekretariat Negara turut menarik perhatian media maupun publik.
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi menyoroti kinerja para menterinya yang dinilai tidak memiliki sense of crisis di tengah situasi pandemi Covid-19. Bahkan Jokowi tak segan mengemukakan ancaman reshuffle bagi para menterinya apabila masih dipandang bekerja biasa-biasa saja.
Layaknya pepatah bak gayung bersambut, ancaman reshuffle yang Jokowi lontarkan segera menjadi topik utama media.
Beberapa media diantaranya menyoroti kemungkinan siapa-siapa menteri yang akan di reshuffle, siapa-siapa saja menteri yang dinilai publik memiliki kinerja baik dan buruk, serta para kandidat yang diprediksi akan didapuk menduduki kursi panas menteri di kabinet Jokowi. Luar biasa.
Menanggapi semua pemberitaan tersebut bagi Penulis pribadi menilai itu sah-sah dan tidak diambil pusing.
Seperti kita ketahui bahwa mengangkat atau memberhentikan menteri adalah hak prerogatif Presiden.
Jika ada menterinya yang Presiden nilai kinerjanya kurang baik dan ia hendak diganti maka itu merupakan kewenangannya. Akan tetapi perlu diingat bahwa reshuffle itu tidak selalu mutlak ditenggarai oleh kinerja menteri semata.
Ada faktor-faktor lain yang mungkin saja menghendaki terjadinya reshuffle kabinet, semisal peta politik yang berubah sekalipun menterinya punya track record dan kinerja baik sekalipun.
Walau jika diamati situasi politik saat ini terbilang stabil dan tidak ada indikasi partai oposisi yang ingin bergabung ke Istana. Namun apabila ada posisi lowong sebagai menteri kiranya siapa pun pihak berharap ingin dipinangnya.
Dibalik semua itu terbesit pertanyaan, apakah isu reshuffle ini dapat dikatakan relevan hanya dilandasi oleh sikap Presiden Jokowi yang "marah" kepada para menterinya?
Waduh repot juga ya, jika setiap kali Presiden marah kepada para pembantunya maka di kemudian hari akan ada menteri yang diganti.