Sebuah video CCTV mereka kejadian kurang mengenakkan pada sebuah kafe di wilayah Semarang. Beberapa orang yang menggunakan sepeda lipat memaksa membawa masuk sepeda mereka ke dalam ruangan walaupun karyawan kafe telah menjelaskan telah disediakan tempat parkir berikut penjaga parkir yang akan menjaganya.
Alih-alih mengikuti anjuran dari pihak kafe, para pesepeda itu tetap membawa masuk dengan dalih sepeda lipat yang mereka gunakan bermerk dan mahal. Sikap arogan pun nampak tatkala ada anggota yang memasukkan sepeda lipatnya dengan masih menyalakan lampu sepeda, tidak melipatnya, maupun dituntun, dan mengganggu kenyamanan pengunjung kafe lain.
Kasus ini pun selesai secara kekeluargaan di mana perwakilan dari kelompok pesepeda lipat itu telah bertemu dengan pemilik kafe untuk meminta maaf atas kejadian tersebut. Pihak kafe pun telah memaafkan dan memaklumi keadaan tersebut bahwa bukan sepenuhnya kesalahan dari kelompok pesepeda lipat, tetapi juga didasari oleh minimnya pegawai karena pembatasan jam operasional.
Sontak kejadian tersebut menyita perhatian komunitas penggemar sepeda lipat lain yang menilai tindakan kelompok pesepeda di Semarang itu tidak beretika dan cenderung norak dengan berdalih sepeda lipat mereka miliki mahal harganya.
Dalam konteks sepeda lipat pada hakikatnya memang dibuat ringkas dan bisa dilipat tak layaknya sepeda pada umumnya karena selain agar menghemat tempat juga untuk memudahkan mobilisasi si pengguna semisal ke dalam supermarket, kantor, Transjakarta, Commuter Line, maupun lainnya.
Namun yang jadi inti permasalahannya bukanlah dari mahal atau bermerknya sepeda lipat, melainkan sisi kepribadian sebagai pengguna sepeda.
Di masa pandemi seperti sekarang memang pamor sepeda khususnya sepeda lipat sedang tinggi-tingginya. Orang berbondong-bondong membeli sepeda selain sarana mobilisasi juga untuk menyalurkan hobi bersepeda.
Sayangnya dari fenomena maraknya pesepeda baru di masa pandemi ini, merujuk dari pengalaman penulis, tidak dibarengi dengan pemahaman akan bersepeda yang benar baik teknik maupun etika.
Sebagai gambaran tak sedikit para pengguna sepada yang tak acuh kepada keselamatan mereka pribadi maupun kenyamanan orang lain saat di jalan. Mereka berbondong-bondong bersepeda layaknya "yang punya jalan", sengaja tidak bersepeda di pinggir atau sisi jalan tetapi malah mengambil ruas jalur yang seharusnya digunakan untuk kendaraan bermotor.
Jelas perilaku itu sangat membahayakan baik diri mereka maupun orang lain. Kecelakaan bisa saja terjadi bukan kepada diri mereka tetapi juga kepada pesepeda lain yang berusaha mendahului maupun kendaraan bermotor yang bisa saja secara tidak sengaja menyerempet mereka karena terlampau ke tengah jalan.