Eforia akan film Joker memang masih berlanjut hingga sekarang, hal ini tidak lepas dari keberhasilan yang dicapai film tersebut dimana mencatatkan dirinya menjadi film rated-R dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa dibandingkan film-film rated-R sebelum-sebelumnya seperti Dead Pool, Dead Pool 2, Matrix Reloaded, dan IT.
Film arahan Todd Philips ini menceritakan kisah kehidupan dari seorang Arthur Fleck hingga ia menjelma menjadi tokoh antagonis dan merupakan musuh bebuyutan Batman yaitu Joker. Berdurasi sampai dua jam lebih sedikit, film Joker menampilkan sisi personal dari Arthur Fleck yang terindikasi penyakit kejiwaan berupa delusional dan narsistis sampai kepada sosok Joker yang gelap dan sadistis.
Tak sedikit pihak merasa keberatan dengan konten yang ada pada film Joker karena dibalik kualitas akting mumpuni si pemeran utama Joaquin Phoenix, film ini dianggap berbahaya dikarenakan selain menampilkan adegan kekerasan yang dikhawatirkan dapat mendorong orang lain yang menontonnya untuk berbuat tindak kejahatan.Â
Film Joker juga dinilai salah dalam menterjemahkan seseorang yang terindikasi penyakit kejiwaan cenderung akan berbuat kekerasan layaknya tokoh Joker dimana pada umumnya orang-orang yang terindikasi penyakit kejiwaan sebaliknya tidak mengancam.
Menariknya kontoversi dari film Joker ini yang mana berdekatan pula dengan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (10 Oktober lalu) justru semakin meningkatkan kesadaran orang-orang dan mencoba mencari tahu akan penyakit kejiwaan.Â
Mereka meyakini bahwa orang-orang yang terindikasi memiliki penyakit kejiwaan tidak hanya membutuhkan bimbingan psikologis, namun mereka juga membutuhkan perhatian kasih sayang dari orang-orang disekitarnya.
Di lain pihak, film Joker justru membentuk sebuah fenomena baru dimana kini tak sedikit individu maupun publik figur yang mengemukakan dirinya memiliki penyakit kejiwaan. Entah apakah demi menarik iba orang lain, namun jelas hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Kenapa?
Perlu dicatat baik-baik bahwa benar adanya seseorang "berpotensi" mengidap penyakit kejiwaan, akan tetapi penilaian apakah seseorang mengidap penyakit jiwa tidak bisa disimpulkan dengan mudahnya oleh individu maupun siapapun.
Layaknya sebuah penyakit dimana seorang Dokter dapat mendiagnosa seseorang terdampak penyakit apa dan apa obat yang dibutuhkannya. Maka seseorang dengan penyakit kejiwaan perlu pengamatan lebih lanjut oleh ahlinya yaitu Psikolog.Â
Seorang Psikolog secara profesi berikut keilmuan yang dimilikinya mampu mendiagnosa apakah seseorang mengalami penyakit kejiwaan atau tidak maupun melihat seberapa jauh kadar dari penyakit kejiwaan yang dialami oleh pasiennya.
Kemudian berbeda halnya dengan "penyakit" pada umumnya, secara adab menceritakan bahwa pribadi terindikasi penyakit kejiwaan merupakan prilaku yang tidak lumrah karena dapat menimbulkan dampak sosial.