Minggu, 30 Juni 2019 melalui hasil rapat pleno, Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2019 s.d 2024.
Hasil tersebut merupakan tindaklanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga kala itu terhadap dugaan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilpres 2019 serta meminta MK membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU.
Namun siapa yang akan menduga disaat hitung mundur menuju waktu pelantikan tanggal 20 Oktober 2019 nanti justru Jokowi sekarang ini diberondong berbagai permasalahan yang bisa dibilang terjadi dalam waktu berdekatan seperti polemik revisi UU KPK dan RKHUP, kebakaran hutan dan lahan, serta rentetan kerusuhan yang terjadi di bumi Cendrawasih.
Mari kita bahas satu persatu. Pertama, kita mulai dengan Revisi UU KPK. Bagi Penulis yang sekadar orang awam melihat revisi UU KPK memang ada baiknya. Penulis melihat sisi positif bahwa perlunya Dewan Pengawas yang bertugas mengawasi kinerja KPK.Â
Walau demikian indepedensi Dewan Pengawas ini memang jadi pertanyaan dikarenakan mereka kalangan yang diangkat dan ditetapkan oleh presiden melalui seleksi yang dilakukan panitia dimana panitia seleksi anggota dewan ini pun disiapkan oleh Presiden.
Pada akhirnya keberadaan Dewan Pengawas ini jadi bahan kecurigaan. Alih-alih semangat untuk memberantas korupsi berpucuk kepada bagaimana sosok Presiden nantinya (bukan hanya pada Jokowi, tetapi Presiden berikutnya), apakah ia akan menempatkan orang-orang yang punya komitmen, integritas, serta mau mensupport agar KPK menjadi lembaga antirasuah yang solid dan kuat atau malah sebaliknya.
Di satu sisi pula revisi UU KPK yang kontroversial ini memang seperti "memerdekakan" dan "memanjakan" para koruptor.Â
Kewenangan KPK banyak yang dipenggal. Korupsi yang pada awalnya dinilai sebagai suatu bentuk dari tindak kejahatan luar biasa, akan tetapi dalam revisi UU KPK kejahatan korupsi layaknya kejahatan maling permen. Syarat bebas para napi koruptor lebih dipermudah dan yang lebih wow lagi napi koruptor bisa mengajukan cuti bersyarat?Â
Saran Penulis, kenapa tidak sekalian napi koruptor digaji pula? Jadi kiranya lengkap, koruptor dimerdekakan, dimanja, dan dikembangbiakkan. Dan mungkin sudah saatnya rakyat untuk menyuarakan agar anggota DPR memiliki batas berapa kali menjabat.
Walau ada sedikit rasa penasaran Penulis timbul karena revisi UU KPK ini. Mengapa seolah tidak ada pihak yang berupaya mengingatkan Jokowi bahwa kondisinya saat ini seperti tersandera dan mengapa tokoh-tokoh politik, kebangsaan dan kenegaraan negeri ini yang seolah vakum bak ditelan bumi tak satupun turun dan ikut menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK? Ahai, bola masuk ke gawang.