Beberapa hari lalu, seorang publik figur yang memutuskan diri untuk menjadi seorang mualaf sempat mencuri perhatian publik. Popularitas yang dimiliki oleh publik figur menjadikan momentum tersebut seolah sesuatu hal yang besar, bahkan sampai-sampai ada rencana untuk menampilkannya ke hadapan publik lewat layar kaca walau pada akhirnya inisiasi itu dibatalkan. Apa yang Penulis harapkan, semoga itu menjadi jalan yang terbaik dan penuh keberkahan baginya.
Menurut pandangan Penulis, menjadi seorang mualaf atau orang yang baru masuk (agama) Islam sebenarnya bukanlah peristiwa yang langka maupun peristiwa yang perlu dibesar-besarkan. Hal tersebut dikarenakan keputusan seseorang yang berpindah dari keyakinan yang ia anut sebelumnya kepada keyakinan yang baru merupakan bagian dari tanggungjawab kelak dirinya dengan Allah atau dengan kata lain (urusan) personal.
Konteks menjadi seorang mualaf pun menurut Penulis bukanlah berarti "ya saya kini menjadi seorang beragama Islam", titik, selesai.Â
Menjadi seorang mualaf maupun kami seseorang yang fitrahnya beragama Islam masih memiliki jalan panjang yang perlu dilalui yaitu bagaimana mengimani dan mengamalkan dengan baik dan benar melalui agama Islam tuntun. Jangankan seorang mualaf, seseorang yang telah berpuluh-puluh tahun menganut agama Islam pun tidak menjamin seseorang tersebut paham akan apa yang diyakininya. Bahkan orang yang kalibernya sebagai ulama masih perlu terus belajar mendalami ilmu agama guna kemaslahatan umat seiring perubahan zaman.
Menjadi seorang beragama Islam itu bukan sekadar tahu apa itu rukun Iman dan menjalankan rukun Islam, bukan sekadar tahu apa yang ada dalam Al Qur'an dan hadist, bukan sekadar patuh kepada perintah Allah subhana wa ta'ala dan menjalankan sunnah Rasulullah, mengetahui apa-apa yang Allah ciptakan dan apa saja kuasaNya, dan lain sebagainya. Karena agama Islam lebih dari itu, dalam pengertian bahwa ilmu agama itu tak terhingga melebihi dalamnya lautan dan luasnya langit.
Sebagai hamba Allah ibarat seorang yang sedang menaiki sebuah perahu maka ia tidak bisa berdiam diri berpangku kepada arus yang membawa perahu tersebut.Â
Kenapa? Jika orang tersebut berpangku hanya kepada arus dan arus itu menerjang badai maka yang dikhawatirkan bukan hanya perahu tetapi orangnya pun ikut tenggelam. Keimanan seseorang itu perlu terus dibangun untuk sigap dan siap menghadapi yang namanya ujian yang Allah kehendaki.
Kenapa keimanan pakai ada ujian segala? Anda sekolah pun diuji untuk naik kelas, anda pun di uji saat lulus kuliah, anda pun di uji saat melamar pekerjaan, anda pun di uji saat mau naik jabatan, dan lain sebagainya. Artinya apa? Semakin berat ujian yang manusia hadapi maka menggambarkan semakin kuat dan kokoh pondasi keimanan dalam pribadinya, sehingga ia tidak goyah terhadap keyakinannya kepada Allah.
Ilmu agama itu sesuatu yang bukan sekadar dipelajari semata tetapi perlu pemahaman sangat-sangat mendalam untuk mengerti segala sesuatu lingkup-lingkup yang mencakupnya (saling terkait). Salah-salah pribadi dalam menafsirkan apa yang dalam ilmu agama maka akan berakhir salah dan dikhawatirkan mengarahkan pribadinya maupun mengakibatkan orang lain dalam kesesatan.
Sebagai contoh, jika seorang pria Muslim menjalankan perintah ibadah shalat 5 waktu namun ia tidak dapat membaca Al Qur'an atau tidak tahu tata cara berwudhu yang benar maka ibadahnya pun disanksikan. Ketika pria tersebut berkeluarga, ia tidak mendidik keturunannya agar belajar membaca Al Qur'an atau belajar tata cara wudhu yang benar. Alhasil ibadah yang anak-anaknya lakukan turut pula disanksikan.