Pantaskah mantan koruptor nyaleg? Pantaskah seseorang yang pernah mencuri uang negara diberikan kepercayaan kembali? Pantaskah seseorang yang telah memberikan makanan haram kepada keluarganya untuk diberi kesempatan kedua?Â
Sekelumit pertanyaan tersebut muncul tatkala keputusan KPU DKI yang tidak memperkenankan mantan eks koruptor sebagai calon legislatif membuahkan pro dan kontra. Apa yang KPU lakukan merujuk pada Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legistlatif dimana disebutkan bahwa mantan terpidana korupsi dilarang untuk mengikuti proses pemilihan sebagai calon.
Sontak keputusan dadakan KPU tersebut menimbulkan reaksi beragam dari banyak kalangan terutama mereka eks koruptor yang menginginkan mencalonkan diri. Beberapa pandangan kontra bermunculan seperti mempertanyakan legitimasi aspek dasar hukum dari keputusan yang dibuat KPU, ada pula yang berpendapat bahwa para eks koruptor telah menjalani masa hukumannya maka mereka berhak mencalonkan diri. Kemudian ada pula yang berkilah bahwa pelarangan mencalonkan diri bagi eks koruptor telah merenggut hak politik mereka sebagai warga negara, dan lain sebagainya.
Ya beginilah ironi demokrasi bangsa ini. Dikala lembaga anti rasuah (KPK) tak henti-hentinya menangkapi para koruptor dari kalangan sipil hingga pejabat yang menggerogoti negeri, justru keberadaan (eks) koruptor seolah diistimewakan. Telah menjalani masa hukuman tak menyurutkan niat mereka untuk dapat kembali merasakan empuknya kursi kekuasaan.
Menyangkut koruptor ini sendiri memang menjadi dilema, realitanya mereka yang dinyatakan bersalah dan telah menjalani hukuman sebagian merupakan sosok berpengaruh (terpandang) dan mapan (secara ekonomi). Alhasil label eks koruptor (sanksi sosial) dan kenangan baju rompi oranye yang mereka pernah kenakan seolah tak berarti, mereka dapat leluasa kembali ke ranah politik dengan menghinggapi partai politik sebagai batu lompatan.
Kekacauan dari polemik mantan koruptor nyaleg sebenarnya tidak perlu terjadi. Mengacu pada inti permasalahan menurut pandangan Penulis sebetulnya tak perlu berbuntut panjang seandainya semua pihak setuju tanpa kecuali bahwa mantan koruptor dilarang untuk nyaleg.
Meski saat ini tak banyak mantan koruptor yang nyaleg, akan tetapi sebagai partai politik seharusnya mengedepankan amanat rakyat yang menginginkan sosok-sosok dari pemimpin amanah yang dapat membawa negeri ini lebih maju. Andaikan saja dari jauh-jauh hari para partai politik memiliki komitmen bersama untuk tidak menerima mantan koruptor maupun kasus pidana lain masuk sebagai anggota partai maka permasalahan ini takkan ada.
Di satu sisi perlu kebijakan lain untuk melengkapinya yaitu adanya landasan hukum disertai penetapan sanksi hukum untuk para koruptor lebih dipertegas lagi, konotasi "dimiskinkan" perlu dibarengi dengan langkah menanggalkan hak politik mereka sebagai warga negara dalam jangka waktu relatif panjang dan hal ini perlu disertai komitmen dari Pemerintah.Â
Seperti dikatakan "pemimpin yang dzalim lahir dari rakyatnya yang lalim", maka hal ini pun menjadi catatan bagi masyarakat agar cerdas dalam memilih sosok yang mewakili mereka.Â
Koruptor adalah musuh kita bersama dan mereka tak layak dikasihani. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H