Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

(Eks) Koruptor Tak Perlu Dikasihani

10 September 2018   10:59 Diperbarui: 10 September 2018   11:30 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pantaskah mantan koruptor nyaleg? Pantaskah seseorang yang pernah mencuri uang negara diberikan kepercayaan kembali? Pantaskah seseorang yang telah memberikan makanan haram kepada keluarganya untuk diberi kesempatan kedua? 

Sekelumit pertanyaan tersebut muncul tatkala keputusan KPU DKI yang tidak memperkenankan mantan eks koruptor sebagai calon legislatif membuahkan pro dan kontra. Apa yang KPU lakukan merujuk pada Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legistlatif dimana disebutkan bahwa mantan terpidana korupsi dilarang untuk mengikuti proses pemilihan sebagai calon.

Sontak keputusan dadakan KPU tersebut menimbulkan reaksi beragam dari banyak kalangan terutama mereka eks koruptor yang menginginkan mencalonkan diri. Beberapa pandangan kontra bermunculan seperti mempertanyakan legitimasi aspek dasar hukum dari keputusan yang dibuat KPU, ada pula yang berpendapat bahwa para eks koruptor telah menjalani masa hukumannya maka mereka berhak mencalonkan diri. Kemudian ada pula yang berkilah bahwa pelarangan mencalonkan diri bagi eks koruptor telah merenggut hak politik mereka sebagai warga negara, dan lain sebagainya.

Ya beginilah ironi demokrasi bangsa ini. Dikala lembaga anti rasuah (KPK) tak henti-hentinya menangkapi para koruptor dari kalangan sipil hingga pejabat yang menggerogoti negeri, justru keberadaan (eks) koruptor seolah diistimewakan. Telah menjalani masa hukuman tak menyurutkan niat mereka untuk dapat kembali merasakan empuknya kursi kekuasaan.

Menyangkut koruptor ini sendiri memang menjadi dilema, realitanya mereka yang dinyatakan bersalah dan telah menjalani hukuman sebagian merupakan sosok berpengaruh (terpandang) dan mapan (secara ekonomi). Alhasil label eks koruptor (sanksi sosial) dan kenangan baju rompi oranye yang mereka pernah kenakan seolah tak berarti, mereka dapat leluasa kembali ke ranah politik dengan menghinggapi partai politik sebagai batu lompatan.

Kekacauan dari polemik mantan koruptor nyaleg sebenarnya tidak perlu terjadi. Mengacu pada inti permasalahan menurut pandangan Penulis sebetulnya tak perlu berbuntut panjang seandainya semua pihak setuju tanpa kecuali bahwa mantan koruptor dilarang untuk nyaleg.

Meski saat ini tak banyak mantan koruptor yang nyaleg, akan tetapi sebagai partai politik seharusnya mengedepankan amanat rakyat yang menginginkan sosok-sosok dari pemimpin amanah yang dapat membawa negeri ini lebih maju. Andaikan saja dari jauh-jauh hari para partai politik memiliki komitmen bersama untuk tidak menerima mantan koruptor maupun kasus pidana lain masuk sebagai anggota partai maka permasalahan ini takkan ada.

Di satu sisi perlu kebijakan lain untuk melengkapinya yaitu adanya landasan hukum disertai penetapan sanksi hukum untuk para koruptor lebih dipertegas lagi, konotasi "dimiskinkan" perlu dibarengi dengan langkah menanggalkan hak politik mereka sebagai warga negara dalam jangka waktu relatif panjang dan hal ini perlu disertai komitmen dari Pemerintah. 

Seperti dikatakan "pemimpin yang dzalim lahir dari rakyatnya yang lalim", maka hal ini pun menjadi catatan bagi masyarakat agar cerdas dalam memilih sosok yang mewakili mereka. 

Koruptor adalah musuh kita bersama dan mereka tak layak dikasihani. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun