Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelakor, Si Sosok Tanpa Rasa Malu

11 Februari 2018   07:33 Diperbarui: 11 Februari 2018   08:30 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelakor atau istilah lain dari "Perebut Laki Orang" entah mengapa sekarang-sekarang ini marak dibicarakan publik. Kepiawaian pelakor dalam menciduk hati korban jatuh mabuk kepayang sampai meninggalkan istri serta keluarga tercinta nampaknya membuat rasa penasaran publik mengapa hal tersebut bisa sampai terjadi.

Tak sedikit yang mengatakan bahwa pelakor merupakan sosok yang vokal dibalik runtuhnya sebuah rumah tangga, pihak ketiga atau "wanita idaman lain" yang sejatinya berupaya merampas apa yang dimiliki orang lain dalam kasus ini adalah suami orang.

Bukan sulap dan bukan pakai sihir, pelakor hadir dengan cara menebar pesona atau daya tariknya layaknya jala yang dihempas ke lautan guna menjerat para ikan (pria). Seketika kaum pria yang tak kuasa menahan diri sontak merespon dengan memberikan perhatian sebagai tanda bahwa dirinya tertarik kepada si pelakor. Perhatian yang terbentuk seiring waktu terjalin menjadi sebuah hubungan gelap sesuai apa yang pelakor rencanakan, hingga sampai pada waktunya si pelakor berupaya merebut pria tersebut dan mendesak agar sang pria meninggalkan istri dan keluarga tercinta.

Pertanyaannya adalah apa motiv yang melatarbelakngi si pelakor merebut suami orang dan mengapa pelakor seolah gemar dengan pria yang telah berkeluarga?

Konteks yang perlu dipahami terlebih dahulu dari sosok pelakor ialah ia merupakan unsur yang teramat "egois" atau lebih mementingkan dirinya sendiri. Maka tak mengherankan bilamana pelakor minim bahkan tidak memiliki rasa malu atas apa yang ia perbuat. Merebut suami orang mempunyai pengertian bahwa ada faktor x yang dimiliki pria tersebut yang diingini atau dapat dimanfaatkan oleh si pelakor, semisalkan harta.

Disinilah adanya keterkaitan mengapa pelakor gemar merebut suami orang disebabkan pria yang telah berkeluarga cenderung dipandang sebagai pribadi yang mapan atau memiliki tingkat ekonomi lebih dari cukup serta berwibawa dibandingkan para pria lajang mapan yang masih gemar berpetualang berganti-ganti biduan. Ketika pelakor berhasil merebut pria yang dituju maka ia bak layaknya tumor ganas yang menggerogoti kehidupan sampai kebutuhannya terpenuhi dan tak mustahil bilamana ia akan mencari sasaran empuk yang lain yang bisa dihinggapi.

Lalu darimana fenomena "pelakor" ini terbentuk? Poin utama yang perlu ditelusuri adalah prihal 3 hal yang menjadi godaan terbesar dari kaum pria, yaitu harta, tahta, dan wanita. Tak jarang pria-pria berkeluarga yang memiliki harta dan jabatan justru miskin prihal kesetiaan terhadap istri dan keluarganya. Inilah yang menjadikan celah mengapa para pria mapan tersebut mudah tergoda, harta dan kuasa lantas membuat mereka dapat berlaku semaunya dan begitu mudah terperangkap oleh jebakan si pelakor.

Lantas bagaimana menanggapi tindak tanduk si pelakor? Dikarenakan keluarga merupakan ranah privasi, istilah pelakor hanya seperti publisitas sesaat tanpa adanya sanksi moral maupun hukum. Pelakor lebih kepada persepsi dimana orang-orang yang secara detail mengetahui seluk beluk dari kisruh rumah tangga seseorang, selebihnya si pelakor dapat hidup nyaman tanpa memperdulikan komentar-komentar dari apa yang ia lakukan.

Menjadi penting khususnya bagi para kaum pria berkeluarga senantiasa menjaga dirinya untuk menjauhi dari hal-hal negatif yang memungkinkan pribadi serta nasib keluarganya terjerembab. Jaga agar harmonisasi dalam keluarga tetap tumbuh dan terjalin, segera selesaikan konflik dengan bijak, dan selalu bersyukur dengan apa yang telah dicapai. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun