Lagi dan lagi, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno membuat polemik baru. Kedua sosok ini seolah haus akan perhatian media dan publik sehingga ada saja materi-materi yang membuat orang lain ingin bersuara.
Setelah mengulik kembali kasus RS Sumber Waras yang menghebohkan demi WTP, kemudian kisruh HGB reklamasi Teluk Jakarta agar janji kampanye terealisasi, dan kini Anies dan Sandiaga mencuatkan rencana untuk melegalkan kembali transportasi becak agar beroperasi di kampung-kampung wilayah Jakarta.
Penulis sebagai orang awam memang tidak ada apa-apanya dibandingkan kepandaian Anies beretorika dan Sandiaga yang visioner dalam bermimpi, baik Anies dan Sandiaga membuahkan kombinasi yang acapkali sulit untuk diterjemahkan. Mereka berdua memimpin Jakarta yang seolah tanpa permasalahan, seperti kemacetan, kebanjiran, sampah, kedisiplinan, pengangguran, sosial, dan lain-lain sebagainya. Oleh karena itu ide dan kebijakan yang tertuang dari keduanya seringkali berbenturan, tidak menghasilkan solusi maupun perbaikan untuk Jakarta, bahkan menimbulkan masalah baru.
Begitupun dengan polemik rencana legalisasi transportasi becak. Di era modernisasi serta teknologi seperti sekarang dan seiring Jakarta yang tumbuh berkembang menjadi kota Megapolitan, keberadaan becak untuk transportasi umum jelas dipertanyakan. Ketika transportasi online tumbuh besar, kemudian transportasi umum yang ingin memulai transformasi agar dilirik publik, serta masih tingginya minat publik kepada kendaraan pribadi, tiba-tiba saja rencana legalisasi transportasi becak mencuat dan mencuri perhatian. Pertanyaannya berapa besar sih tingginnya minat publik kepada transportasi becak dan apakah mampu becak dapat bersaing di era modern sekarang?
Apa yang Anies dan Sandiaga cari dari hal ini, apakah ingin menjadikan Jakarta lebih semerawut dari yang ada? Legalisasi becak sebagai transportasi sama saja dengan membuat Jakarta mundur ke belakang, alih-alih citra yang ingin didapat tidak sebanding dengan kemungkinan masalah-masalah yang akan muncul ketika becak masih eksistensi di Jakarta.
Kemudian rencana becak untuk sarana pariwisata, pertanyaannya apakah kesemerawutan di Jakarta layak dijadikan pariwisata? Cobalah kita bertanya dalam diri masing-masing, apakah Jakarta sudah tertata rapih, tertib, dan disiplin? Komoditi pariwisata apa yang ingin ditampilkan manakala sarana dan prasarana penunjang pariwisata di Jakarta masih minim bahkan minus?
Sejatinya sebagai pemimpin Anies dan Sandiaga seharusnya dapat lebih bijak prihal apa yang Jakarta benar-benar butuhkan guna lebih baik. Anies dan Sandiaga seharusnya mampu melahirkan ide-ide dan inovasi yang lebih fresh, bukan malah mengembalikan Jakarta ke masa lalu. Nostalgia sudah berlalu, Jakarta kini lebih maju dengan segudang permasalahan yang ada. Jangan karena tahun 2018 dikatakan sebagai tahun politik maka segala cara dilakukan guna golden ticket menuju Pilpres 2019, redam ambisi karena masalah di Jakarta yang memerlukan solusi masih banyak Bung! Demikian artikel Penulis mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H