Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Televisi Menjadi Kendaraan Politik, Apa Kata Dunia?

7 Oktober 2017   07:18 Diperbarui: 7 Oktober 2017   08:54 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Televisi (clipartsfree.net)

Anda semua tentu mengenal televisi bukan? Box ajaib yang dapat menghantarkan gambar dan suara yang kini ukurannya kian lebar dan slim ini merupakan salah satu dari  sekian penemuan penting di bidang teknologi informasi pada abad ke 19. Semenjak televisi dijual secara umum ke publik, seiring perkembangan zaman televisi kokoh sebagai sarana penunjang guna mendapatkan informasi serta hiburan. Walau saat ini fungsi kian tersisih dengan hadirnya perangkat mobile yang mengadaptasikan teknologi internet, namun sosok box ajaib ini tidaklah pudar oleh masa dimana ia masih ditemukan di sisi-sisi ruang rumah.

Di Indonesia sendiri, pada masanya dahulu televisi merupakan barang mewah yang tidak sembarang orang bisa miliki. Dan untuk pertama kalinya program-program televisi hadir dan dapat ditonton dengan didirikannya stasiun televisi nasional TVRI pada tahun 1962. Setelah berpuluh-puluh tahun terlewati, lambat laun stasiun-stasiun televisi swasta satu persatu bermunculan dan kita pun mengenal istilah layanan tv berlangganan.

Peran penting televisi memang tidak bisa kita sanggah, alat ini mampu menembus batas cakrawala sebagai "sarana menunjang informasi dan hiburan". Membuka mata publik akan apa yang sedang terjadi  di pelosok-pelosok nusantara bahkan di belahan bumi lain, begitu banyak manfaat yang kita dapatkan. Akan tetapi televisi khususnya di Indonesia tidak bisa lepas dari sisi industri komersial dimana sebagai ladang penunjang hidup atau mata pencaharian stasiun televisi untuk beroperasi. 

Sebagai konsekuensi, pemirsa dapat gratis menikmati menonton beragam program acara dengan diselingi oleh beragam iklan komersial. Semakin berkembangnya ranah industri dimana langkah pemasaran merupakan aspek krusial yang wajib dilakukan guna memperkenalkan produk kepada konsumen, lambat laun mengakibatkan durasi iklan komensial pada sebuah program tayang "semakin panjang dan membosankan".

Diluar aspek televisi sebagai lahan industri komersial, kita tidak dapat pungkiri bahwa terjadi perubahan dengan apa yang biasa publik tonton dimana beragam program acara yang tayang kini harus memenuhi peraturan berlaku seperti tidak mempertontonkan adegan kekerasan, brutal, dan sadisme, tidak menampilkan adegan atau cuplikan yang tidak sopan maupun seronoh, dan lain-lain sebagainya. 

Hal ini sampai sekarang tetap menjadi polemik di masyarakat dimana kubu kontra menyatakan berlaku peraturan tersebut terlalu berlebihan dan merusak esensi sebuah hiburan, sedangkan bagi kubu pro menganggap peraturan ini guna meminimalisir dampak buruk dari televisi disokong minimnya pengawasan dan semakin edannya zaman. Namun kedua pihak bersatu suara bahwa televisi harus mampu menghadirkan tayangan-tayangan yang mendidik, bermartabat, dan berkualitas untuk membentuk generasi-generasi yang bermutu.

Seperti tidak habisnya masalah jika membahas televisi di Indonesia dimana kini televisi tidak lagi sarana penunjang informasi dan hiburan melainkan mulai bergeser menjadi kendaraan politik partai. Bukan menjadi rahasia bahwasanya begitu powerful-nya peran media mulai dilirik sebagai pionir untuk mempromosikan perangkat-perangkat partai guna diperkenalkan ke khalayak masyarakat. 

Tidak ada yang salah hal ini bilamana momentum-momentum tersebut tepat waktunya seperti mendekati perhelatan Pilkada ataupun Pilpres, akan tetapi bagaimana jika hal tersebut justru disiarkan tidak pada momentumnya dan terlampau exploit cenderung overdosis?

Sebagai bagian dari masyarakat dan bukan juga penggemar setia televisi (lebih kepada pemerhati), Penulis menanggapi bergesernya peran televisi menjadi kendaraan politik partai merupakan hal yang tidak etis. Tidak masalah jika sesekali kegiatan partai dihadirkan ke pemirsa untuk mengangkat image partai, akan tetapi jika komoditi politik partai sampai terus menerus dipertontonkan dan didengarkan ke pemirsa maka hal tersebut sama saja dengan bentuk propaganda (rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. 

Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan "informasi yang dirancang" untuk mempengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya - Wikipedia Indonesia).

Oleh karena ada bentuk pergeseran ini maka selayaknya menjadi perhatian bagi insan-insan pertelevisian untuk tidak menampilkan bentuk propaganda dari partai manapun guna sebagaimana tujuan televisi yaitu penunjang informasi dan hiburan. Hal ini pun telah diadukan oleh sebagian masyarakat dan ditindaklanjuti oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), namun sangat disayangkan aduan tersebut mentah di tengah jalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun