"Belanda masih jauh" kiranya menjadi kalimat yang tepat dalam menggambarkan atmosfer politik akan Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 mendatang, namun realita menggambarkan bahwa Ahok atau sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama yang saat ini masih menjabat Gubernur DKI Jakarta sebagai pemenangnya. Ibarat kompetisi sepakbola liga Inggris, Ahok layaknya klub yang menjuarai paruh musim dan banyak supertisi atau tahayul beredar bahwa klub tersebut akan menjadi juara liga.
Hal ini diperkuat sampai sekarang elektabilitas Ahok masih tertinggi berdasarkan hasil survey lembaga yang dipublish ke publik oleh media, ditambah lagi Ahok bersama Heru yang didaulat sebagai wakilnya nanti merupakan calon independen. Langkah yang Ahok ambil bisa dikatakan sebuah perjudian, namun fakta di lapangan tidak dapat disanggah dulangan dukungan masyarakat melalui Teman Ahok terus bergulir kepadanya. Elektabilitas tinggi terhadap calon independen dari pandangan Penulis bukanlah didasari indikasi menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik, tetapi lebih kepada tidak ada calon lain yang lebih kompeten ketimbang dari bagaimana kinerja Ahok selama ini buktikan.
Disini Penulis berbicara secara logika, jika pembaca amati para bakal calon yang saat ini berusaha mati-matian agar didukung parpol maju untuk Pilgub DKI maka siapa yang punya peluang besar mengalahkan elektabilitas Ahok? Penulis katakan tidak ada. Mungkin saja ada dari mereka yang memiliki keunggulan maupun pamor di bidang tertentu diatas Ahok, tetapi apakah masyarakat DKI Jakarta sebegitu bodohnya memilih mereka dengan persaingan tidak sehat yang digaungkannya.
Upaya-upaya menjatuhkan elektabilitas Ahok silih berganti, dari wacana menaikkan syarat calon independen, menilai buruknya tata krama Ahok miliki, mempertanyakan asal usul dan motiv Teman Ahok, kasus Sumber Waras, sampai isu SARA tak pelak digunakan. Cara-cara pengecut karena kesemuanya berkoar dibalik layar ketimbang berupaya menarik simpati masyarakat DKI Jakarta secara sehat. Alangkah teramat bodoh bilamana ada parpol yang mendukung bakal calon yang menggunakan cara tersebut, image yang diberikan tentu akan berpengaruh kepada bentuk antipati masyarakat baik kepada bakal calon dan parpol itu sendiri. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa menang?
Memang elektabilitas dari hasil survey hanyalah sejumlah angka berdasarkan statistik semata, akan tetapi bersikap layaknya kebakaran jenggot gegara Ahok menjadi dagelan bahwa segelintir pihak ternyata masih belum mampu menunjukkan kedewasaanya dalam kehidupan berdemokrasi. Mirisnya sikap-sikap tersebutlah yang banyak menghiasi media yang dinilai menjadi sesuatu yang menjual, kontroversi dan sensasi memberikan keuntungan bagi segelintir pihak namun sangatlah merugikan bagi upaya mendidik masyarakat agar smart. Penulis berpendapat jalan menuju Pilgub DKI kiranya masih panjang dan segala sesuatunya masih mungkin bisa terjadi, siapa pun seharusnya dapat menjaga sikap bukan malah layaknya cacing kepanasan mempertunjukkan kekanakan mereka dan Jakarta butuh figur pemimpin yang mau bekerja bukannya bocah. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H