Ada sepenggal kalimat mengatakan "membangun kepercayaan membutuhkan waktu yang relatif lama, sedangkan membuat kecewa bisa dilakukan sekejap mata", kalimat tersebut merupakan ironi dari kehidupan dimana didalam kehidupan bahwa manusia saling membutuhkan antar sesama. Sebagai mahluk sosial bahwa tidak seorang pun manusia yang dapat mutlak hidup sendiri, manusia terkadang membutuhkan pertolongan atau bantuan orang lain baik suka maupun duka.
Konsep kehidupan melandasi terciptanya hubungan antara sesama manusia, baik relasi berdasarkan ikatan darah (keluarga dan saudara) maupun lingkup sosial (tetangga dan kerabat). Kontinuitas dari hubungan maka menghasilkan ikatan layaknya dua tali yang sebelumnya terpisah lalu membuat simpul yang akhirnya saling menyatu oleh bentuk dari rasa saling percaya. Transformasi tersebut bisa kita jabarkan dalam kehidupan sehari-hari seperti dari hubungan sebatas kenal lalu menjadi teman kemudian sahabat, hal tersebut dikarenakan semakin eratnya hubungan dan memungkinkan tingkatan relasi yang lebih intim lagi.
Namun hidup tidaklah selalu sempurna sesuai apa yang kita harapkan, mungkin anda-anda pun pernah mengalaminya bahwa seringkali ada manusia yang memanfaatkan rasa percaya yang sudah terbentuk menjadi bentuk kekecewaan yang sulit sekali dimaafkan. Manusia-manusia yang entah ada apa dibenaknya sehingga sebegitu teganya berpaling dari orang yang kita dapat percaya menjadi musuh abadi yang begitu kita benci (sikap dan sifatnya).
Seperti kembali kepada naturalnya manusia bahwa manusia adalah individu dengan ego (diri pribadi), cakupannya lebih kepada egoisme atau mementingkan dirinya sendiri dan acuh terhadap orang lain. Bentuk dari ego umum kita temui pada manusia-manusia yang suka berhutang, seperti apa yang Penulis utarakan dalam artikel sebelumnya tidak akan menjadi masalah ketika hutang sanggup dibayar namun "berhutang akan menjadi akar dari berbagai permasalahan lain" apabila disepelekan.
Cerminan ego yang umum bisa diamati langsung dari manusia yang berhutang yaitu menghindar atau lepas dari tanggungjawab, ibarat pepatah "habis manis sepah dibuang" orang yang sudah berupaya menolongnya ditinggal tanpa kejelasan. Berbagai cara untuk mendapatkan kepastian kapan hutang dibayarkan justru dibalas dengan beribu alasan dan kesemuanya menyatakan hidupnya sedang susah. Pertanyaannya sekarang apakah hanya hidupnya (orang yang berhutang) saja yang sedang kesusahan? Apakah dibenak pikirannya tidak tergambarkan bahwa uang yang dipinjamnya itu adalah hak orang yang menolongnya dan apakah ia tidak sadar bahwa adalah kewajibannya untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya.
Tentu anda berpikir apakah sebegitu mudahnya mengubah rasa iba dari apa yang dialaminya, kini orang yang membantu harus dituntut untuk merasa iba mengikhlaskan uang yang dipinjamkannya tersebut? Apakah dalam artian rezeki sudah ada yang mengatur lalu pribadi membiasakan prilaku manusia-manusia yang tidak tahu berterima kasih tersebut ketika sudah ditolong? Walau demikian dalam hakekatnya bila segala usaha yang kita lakukan untuk menagih hutang tersebut dibayarkan menemui jalan buntu maka anda harus ridho mengikhlaskannya karena Allah akan menggantikannya dengan yang lain (lebih baik).
Dari apa yang Penulis jabarkan diatas dapat kita ambil hikmah bahwa betapa pentingnya menjaga pondasi rasa saling percaya diantara sesama manusia, namun tidak berarti rasa saling percaya menjadikan peluang untuk berkhianat dengan cara berhutang. Berhutang layaknya benih kebencian, ketika dilakukan maka ia akan perlahan demi perlahan tumbuh besar seperti pohon dan kemudian berbuah simalakama. Ketika pohon itu kokoh menjulang dan tidak mungkin untuk ditebang maka orang yang berhutang hanya akan terus lari menghidari kehidupan. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H