Tanggal dua puluh lima di bulan September
Pelangi di langit tempat kita duduk berdua, sudah memudar. Foto-fotomu sudah kubakar dan pigura-pigura yang membingkai kisah kita sudah kuhancurkan lalu kutenggelamkan dalam liang tanah berwarna coklat. Bersama aroma hujan yang turun setelah sekian lama lenyap dimusim kemarau. Mengantar pergimu dan menghanyutkan kenangan kita di hari itu. Semuanya telah hilang, kecuali satu. Cinta kita, Tri.Â
"Aku telah pergi, jauh ke tempat yang tak pernah kau tahu untuk selamanya. Jangan kau mencariku, sebab kau takkan menemukanku. Tapi percayalah. Cinta kita abadi, seperti nama di dada dan kepala. Selalu terkenang dan selalu hidup bersamamu."
Ucapanmu seakan menggelegar di telingaku. Wajahmu bak rembulan dengan surai hitam sepekat arang, membayang nyata pada tembok, di hadapanku. Lalu senyummu? Ia melengkung bersama aliran sungai dari pipimu. Air mataku menetes. Jatuh tepat di dua garis kertas bawah namamu. Suratmu sudah kubaca semua. Coretanmu menggunakan tinta permanen yang melekat di sana—kutahu itu tulisan tanganmu yang entah kesekian kalinya kau ulang demi diriku—bagaikan pisau yang membelah dadaku, mencincang hati, dan jiwaku tiba-tiba mati.  Kini bukan cuma satu yang tinggal di sini. Tapi tiga. Cinta, kenangan, dan penyesalan. "Maafkan aku, Sandra. Aku juga mencintaimu."
***
Pentigraf adalah akronim dari cerpen tiga paragraf. Karya sastra jenis baru ini, kali pertama digagas dan dikembangkan oleh sastrawan dan akademikus dari Unesa, Dr. Tengsoe Tjahjono. Dinamakan pentigraf sebab syarat utamanya adalah terdiri dari tiga paragraf, tidak kurang dan tidak lebih.Â
(Sumber: "Pentigraf Mulai Memiliki Penggemar". Republika. Diakses tanggal 27 April 2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H