Mohon tunggu...
Sansa Bunga Agista
Sansa Bunga Agista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pribadi

Reading to Develoved themselves. Speak to be Heard. Writing to be Understood.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agama sebagai Ajaran Damai, tetapi Konfliknya Selalu Ramai Memicu Aksi Bertikai

21 Juni 2021   14:13 Diperbarui: 21 Juni 2021   15:47 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik antar umat beragama dan internal agama telah berlangsung sekian lama, bahkan usianya hampir menyamai umat agama itu sendiri. Rekam jejak sejarah mencatat peristiwa konflik beragama seperti halnya konflik Hindu-Islam di India Barat, konflik Buddha Rohingya dengan diwarnai aksi-aksi pengusiran, penghancuran, pemerkosaan, hingga pemenggalan, konflik Israel-Palestina yang dianggap sebagai salah satu tahun paling berdarah dalam sejarah penyerangan Palestina, juga konflik Poso yang menjadi salah satu peristiwa yang paling menggemparkan melibatkan umat Kristen-Muslim di Sulawesi Tengah.

Konflik yang telah terjadi puluhan bahkan ratusan tahun silam ini bahkan telah menyeruak bertransformasi menjadi lebih kompleks dan lebih luas, dalam dunia kita yang di dominasi oleh media seperti saat ini isu tentang keagamaan pun selalu menjadi menu utama pilihan masyarakat luas. Sebagai aspek fundamental dalam kehidupan, isu agama seakan tidak pernah sepi dari pro dan kontra, gejolaknya begitu hebat, selalu ada hal yang bisa diperdebatkan setiap saatnya dan terkadang perdebatan itu tidak pernah usai dan tidak pernah menemukan titik temu yang bisa memuaskan semua pihak yang berseteru. 

Sudah banyak isu-isu yang dihembuskan tentang konflik agama di Media Sosial. Salah satu isu yang menyebar seantero Indonesia hingga membuat kegeraman masyarakat muslim adalah kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, atau orang Indonesia lebih mengenalnya dengan sapaan “Ahok”, seorang yang pernah memangku jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, kasusnya mencuat pertama kali ke “dunia” adalah karena ada yang mengunggah ke media sosial. Kasus ini banyak menyita publik, umat Islam melakukan demo besar-besaran untuk menuntut Ahok agar kasusnya diselesaikan dengan seadil-adilnya. Konflik ramai dibicarakan di media sosial karena masyarakat yang menginginkan kasus penistaan ini diusut tuntas, dianggap tidak paham betul bagaimana wujud “kebhinekaan” dalam Indonesia. Antar pihak pro dan kontra saling menyerang secara verbal, memaparkan argumentasinya di media, menimbulkan gap antar golongan, hingga saling merasa bahwa pendapatnya lah yang paling benar. Kasus Ahok ini hanya sebagian kecil dari yang terlihat mengenai konflik beragama di jagat maya. Ibarat gunung es, bagian-bagian lainnya tak terlihat, tetapi eksistensi mengenai konflik agama ini tak bisa dipandang sebelah mata.

Hal ini dibuktikan oleh United States Commission on International Religious Freedom, yang menyebutkan bahwa Indonesia ini merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan kasus penistaan agama terbesar. Bukankah makna “menistakan” agama di sini memberikan gambaran dengan jelas bahwa adanya suatu “ketidak sukaan” terhadap agama lain karena dirasa mereka berbeda? Bukankah ini menjadi cermin yang tepat untuk menyadari tentang konflik beragama ini tak bisa terus dibiarkan?

Sikap merasa paling benar dan merendahkan yang lainnya dalam konteks keberagamaan di Indonesia, jika terus dibiarkan akan memberikan dampak yang cukup serius. Bagaimana tidak? Kecenderungan memisahkan diri dari masyarakat karena menganggap paham yang dianut mereka bersifat khusus ini banyak “mengantarkan” masyarakat Indonesia, bahkan dunia pada konflik beragama yang seolah tidak pernah berujung. Konflik yang ditimbulkan bukan hanya sebatas konflik verbal atau ujaran kebencian di media massa, lebih dari itu, aksi kekerasan sudah cukup sering mewarnai—menodai slogan “Kesucian, Kebebasan, dan Kedamaian” yang menjadi misi besar agama.

Jika terus dibiarkan, prahara  ini akan terus mengendap tanpa kendali. Ibarat bom waktu, ia akan meledak “menghancurkan” umat beragama di dunia. Untuk itu, dibutuhkan suatu model teologi yang mampu meredam eksklusivisme beragama yang mulai banyak merambah media sosial. Kiranya, model teologi inklusif mampu menjadi alternatif solusi untuk memecahkan masalah konflik beragama, khususnya di media sosial. Agar cita-cita menggapai “Perdamaian Umat Beragama”  bukan menjadi omong kosong belaka.

Oleh : Qolbi Mujahidillah, Widia Lestari, Sarah Annisa, Sansa Bunga Agista

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun