Mohon tunggu...
sanna sanata
sanna sanata Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sungai Progo, Milik Jogja atau Bukan ?

9 Mei 2010   17:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:18 2110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Air adalah sumber kehidupan, semua mahluk hidup sangat tergantung pada keberadaan air di muka bumi ini. Dari protozoa sampai jerapah, semuanya memerlukan air untuk hidup bahkan sebagian besar tubuh manusia juga didominasi oleh air (zat cair). Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini sangat mengancam ketersediaan air di lingkungan kita. Ketika manusia hanya bisa merusak alam maka sama saja dia membunuh dirinya sendiri. Karena alam disekitar kita memberi banyak sekali materi yang kita butuhkan seperti air. Bayangkan jika sumber air rusak dan air tidak dapat lagi mengalir, apa yang akan terjadi dalam kehidupan ini ?

Di Indonesia daerah perairan lebih luas daripada daratannya, akan tetapi belum dapat dikelola dengan baik karena terbukti masih banyak daerah yang kekurangan air. Bahkan di kota besar seperti Jakarta kadang sering terjadi krisis air bersih yang tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Disana para penghuni perumahan elit pun terpaksa mengambil air dari kolam renang untuk mendapatkan air bersih tersebut. Air yang tidak bersih berbahaya bagi kesehatan, sehingga mereka harus memebeli air bersih untuk memenuhi kebutuhannya.

Di tempat lain masalah yang dihadapi adalah masyarakat benar-benar tidak dapat memperoleh air. Padahal ketika musim hujan tiba ketersediaan air di daerah tersebut melimpah. Di daerah Gunungkidul, D.I. Yogyakarta misalnya, para petani disana hanya dapat bercocok tanam ketika musim hujan tiba saja setelah itu mereka merantau ke tempat lain untuk mencari nafkah. Itu menunjukan bahwa masyarakat disana belum mampu memanfaatkan air yang melimpah di musim hujan untuk kegiatan di musim kemarau.

Dari segelintir masalah yang ada, masalah yang sering dihadapi oleh masyarakat terkait keberadaan sumberdaya air adalah kerusakan lingkungan. Biasanya lokasi mata air atau sumber air adalah di wilayah pegunungan. Di daerah tersebut cocok dengan tanaman-tanaman komoditas internasional yang menggiurkan. Hal tersebut menjadi daya tarik bagi para pengusaha untuk menjadikannya sebagai lahan bisnis. Keuntungan yang didapatkan semakin lama semakin banyak, maka ada keinginan para pengusaha tersebut untuk memperluas lahannya sehingga banyak alih fungsi lahan hutan lindung menjadi areal pertanian. Akhirnya terjadilah overeksploitasi yang mengganggu keseimbangan ekologis di lingkungan tersebut.

Keberadaan kawasan lindung yang ditetapkan pemerintah untuk menjaga mata air tersebut menjadi terganggu. Akibatnya air dalam mata air tersebut berkurang, tidak jarang pula terkontaminasi oleh zat kimia dari pupuk dan pestisida kimiawi yang digunakan dalam kegiatan pertanian. Mata air tersebut kemudian mengalir di sungai sampai ke hilir yang semuanya dimanfaatkan oleh masyarakat (manusia) dan mahluk hidup lainnya. Maka dampaknya sudah jelas, yakni kegiatan masyarakat terganggu dan keseimbangan ekosistem goyah. Karena sekali lagi air adalah sumber kehidupan.

Hal inilah yang sedang dikhawatirkan akan dialami oleh beberapa kelompok masyarakat di sekitar Sungai Progo. Sungai Progo atau warga sekitar menyebutnya Kali Progo adalah sungai terpanjang di Jawa Tengah, daerah yang dilaluinya adalah Kabupaten Temanggung, Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah), Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Bantul (D.I.Yogyakarta). Sungai Progo memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Karena sliran airnya menghidupi masyarakat disana yang sebagian besar bekerja dari bercocok tanam yang memerlukan ketersediaan air yang sesuai.

Sungai ini bersumber dari lereng Gunung Sumbing yang melintas ke arah tenggara. Di daerah Ngluwar, Kabupaten Magelang, Kali Progo dibendung untuk sarana irigasi bagi masyarakat Yogyakarta oleh Belanda. Bendungan ini dikenal sebagai "Ancol Bligo" yang sekarang menjadi tempat rekreasi warga. Aliran irigasi ini mengalir dari Ngluwar menuju ke arah Timur membelah Kabupaten Sleman dan menuju ke Kabupaten Klaten dan dikenal sebagai Selokan Mataram (atau "Selokan Van Der Wijck"). Kali Progo bermuara di Pantai Congot, di pesisir selatan Jawa (wikipedia.org).

Namun sebenarnya ada dua mata air yang mengalirkan air di Sungai Progo. Yakni mata air dari Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing (seperti yang disebutkan diatas). Kedua gunung tersebut nampak seperti gunung kembar yang letaknya relatif berdekatan. Gunung Sindoro terletak di sebelah utara Gunung Sumbing yakni di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Mata air sungai progo dari gunung Sumbing tepatnya terletak di Dusun Jumprit, Desa Tegalrejo, Kabupaten Temanggung Sedangkan Gunung Sumbing di sebelah selatan Gunung Sindoro, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Secara geografis hulu Sungai Progo berada di Gunung Sindoro, meskipun di Gunung Sumbing juga terdapat mata air Sungai Progo. Karena mata air di Gunung Sindoro terletak di paling ujung dari Sungai Progo. Masyarakat sekitar menyebut mata air tersebut dengan sebutan Sirah Progo. Sirah dalam Bahasa Indonesia bermakna kepala, maka Sirah Progo berarti kepalanya Sungai Progo atau mata air Sungai Progo.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar Sungai Progo dimanfaatkan oleh masyarakat di Yogyakarta. Dapat dikatakan tidak hanya di tiga kabupaten di Yogyakarta saja (Sleman, kulon Progo, Bantul) yang memanfaatkan aliran Sungai Progo. Adanya Selokan Mataram (atau "Selokan Van Der Wijck") yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda waktu itu berjutujuan agar aliranya dapat mengalir di seluruh Yogyakarta. Pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa aliran Sungai Progo tidak pernah kering meskipun di musim kemarau karena mendapat suplai dua mata air sekaligus.

Sungai Progo yang mengalir dari utara ke selatan dan terletak di bagian barat Yogyakarta di alirkan kearah timur sampai Kabupaten Klaten, Jawa Tengah melalui Selokan Mataram. Kabupaten Klaten adalah daerah perbatasan antara D.I. Yogyakarta dengan Jawa Tengah dimana Candi Prambanan berada. Sampai saat ini pengelolaan air warisan Belanda tersebut masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Tanpa banyak yang menyadari ternyata Belanda yang sering kita sebut sebagai penjajah berperan dalam kehidupan masyarakat di Yogyakarta. Bayangkan jika tidak ada Selokan Mataram mungkin air dari Sungai Progo tidak terdistribusi secara merata di sana.

Selain banyak berpengaruh bagi kehidupan masyarakat di Yogyakarta, Sungai Progo banyak dimanfaatkan sebagai untuk kepentingan lain. Di daerah sekitar muara, banyak dijumpai penambangan pasir. Di bagian hulu, di daerah Magelang, aliran sungai ini dimanfaatkan oleh para penggemar white water rafting untuk menjajal kemampuannya (wikipedia.org).

Kekhawatiran yang disebutkan diatas adalah hal yang sangat wajar meskipun sampai saat ini Sungai Progo masih mengalir seperti biasa. Karena ada pepatah mengatakan “Sedia payung sebelum hujan” yang dapat diartikan mumpung belum terjadi bencana kekeringan maka perlu dilakukan langkah antisipatif untuk mengelola Sungai progo. Hendaknya kita perlu belajar dari daerah lain yang telah terjadi bencana kekeringan agar tidak terjadi di tempat kita.

Memang sebenarnya telah terjadi kerusakan di daerah mata air Sungai Progo atau di Sirah Progo. Dan memang dampaknya belum dirasakan masyarakat secara siknifikan. Mungkin hal inilah yang menyebabkan masyarakat menganggap Sungai Progo baik-baik saja. Dan mungkin pula dampaknya akan dirasakan masyarakat beberapa tahun yang akan datang.

Kerusakan yang terjadi persis seperti yang disebutkan diatas yakni karena adanya alih fungsi kawasan lindung menjadi daerah pertanian yang tidak peduli lingkungan. Berikut ini adalah salah satu berita tentang rusaknya lingkungan di daerah mata air Sungai Progo yang diambil dari matanews.com, tanggal 11 Agustus 2008 bejudul Pabrik rokok Harus Tanggungjawab : “Akibat eksploitasi ladang tembakau, kerusakan lingkungan semakin parah. Jadi sudah saatnya kalangan pabrik rokok ikut bertanggung jawab karena telah lama menikmati keuntungan dari daun tembakau……dua pertiga air sungai di daerah Temanggung merupakan material lumpur akibat adanya erosi di hulu dan bantaran sungai…Tingkat erosi di Temanggung sudah mencapai 60 ton per hektare per tahun. Selama 10 tahun terakhir pendangkalan sungai berkisar antara 1-3 meter. Selain itu, debit air terus berkurang dan terjadi banjir setiap musim hujan dating.

Lantas apa yang harus dilakukan ? yang jelas mumpung dampaknya belum terlalu dirasakan memang perlu langkah antisipatif. Dan apabila muncul pertanyaan siapa yang harus bertanggungjawab melestarikannya? apakah orang yang berada di kawasan Sirah Progo ataukah masyarakat yang banyak memanfaatkannya. Memang benar pihak yang mengeksploitasi kawasan tersebut harusnya bertanggungjawab akan kelestarian daerah tersebut. Akan tetapi mungkin pertanyaan tersebut menjadi sangat berat dijawab oleh masyarakat yang banyak menikmati aliran Sungai Progo.

Masyarakat yang banyak memanfaatkan dan menikmati adanya aliran Sungai Progo adalah masyarakat di Yogyakarta. Sedangkan mata air Sungai progo berada di luar Yogyakarta. Kerusakan yang terjadi di kawasan mata air Sungai Progo kadang menjadi permasalahan di daerah tersebut. Bahkan seringkali terjadi konflik yang dapat memecah kondisi sosial di daerah tersebut. Tetapi bagi masyarakat Jogja hal tersebut tidak menjadi perhatian yang serius padahal beberapa tahun yang akan datang mungkin mereka akan merasakan dampaknya.

Jika orang Jogja ditanya Sungai Progo milik Jogja atau Bukan ? dengan kondisi yang ada, orang cerdas harusnya tidak akan menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi segera melakukan tindakan untuk berpartisipasi dalam melestarikan kawasan mata air meskipun jaraknya cukup jauh dari kota Jogja. Karena orang cerdas adalah orang yang sempurna akal budinya (Ibrahim, 1993), yang tidak hanya menggunakan pikirannya dalam melakukan sesuatu tetapi juga dengan hati nurani.

Sebuah pemikiran yang cerdas adalah ketika kita banyak memanfaatkan sesuatu maka kita juga bertanggungjwab melestarikannya. Coba bayangkan apabila setiap orang yang memanfaatkan Sungai Progo menyumbangkan satu pohon untuk kawasan Sirah Progo mungkin disana tidak terjadi alih fungsi hutan. Kalau orang yang memanfaatkan Sungai progo lebih dari seribu orang dan selalu menyumbang satu pohon, mungkin para penebang pohon akan jenuh. Karena sebenarnya masyarakat yang memanfaatkan Sungai Progo lebih dari seribu orang.

Itulah sebuah pemikiran cerdas untuk mengantisipasi dampak dari kerusakan lingkungan. Yang mungkin dapat diaplikasikan terutama pada masyarakat yang cenderung homogen seperti di daerah-daerah yang dilalui Sungai Progo. Dan akan menjadi lebih cerdas apabila dapat menjadi contoh di daerah lain untuk melestarikan lingkungannya. Yang jelas pemikiran cerdas untuk lingkungan cukup sederhana yakni : mulailah dari diri sendiri dan dari hal kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun