Mohon tunggu...
San Maula
San Maula Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bangkitlah! Dan lihatlah kenyataan dan pertanyaan hari ini...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agama dan Kekerasan dalam Kultur Kita

27 Februari 2012   01:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:58 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan, kekerasan menjadi fenomena yang marak dan sering dengan mudah meledak di tanah air tercinta Indonesia. Pemicunya pun tentu beragam. Mulai dari persoalan perebutan lahan, perbatasan desa, perang antar-kampung, perlawanan (upaya penutupan) terhadap perusahan besar yang berusaha menyabot penghidupan masyarakat, upaya melawan (kesewenangan) pihak aparat keamanan atau pemerintahan, dan yang terakhir tapi bukan yang terkecil: perbedaan kecenderungan keagamaan yang dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan. Maka, apapun menjadi sasaran kemarahan, rumah dan bangunan dihancurkan atau dibakar, dan korban pun berjatuhan...

Menilik persoalan ini dengan cara lebih seksama, dengan mencari akar masalahnya satu demi satu, tentu memerlukan waktu dan ruang yang memadai. Karenanya, kita hanya akan coba menyasar satu faktor saja, yaitu alasan keagamaan yang dijadikan pemicu untuk kemudian melakukan tindak anarkis itu.

Sebenarnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat toleran dan mampu menghormati perbedaan, apapun latar perbedaan itu. Luas wilayah Nusantara (yang panjangnya saja hampir sama dengan panjang daratan Eropa) dengan aneka suku, bahasa, dan agama, setidaknya menjadi bukti bahwa kita memang rela hidup bersama dalam perbedaan. Kalau tidak, maka kita takkan mampu bertahan selama ini. Kendati hari-hari ini kita memang pantas khawatir dengan keutuhan negeri ini.

Benar, kita adalah bangsa yang terkenal ramah pada siapapun; bahkan ini seolah menjadi icon dan kebanggan kita. Karena itu, kita pantas tersentak, bingung, dan bertanya-tanya; apa sebenarnya yang terjadi dengan anak bangsa ini? Mengapa sekarang mereka cenderung bertambah beringas dan tak lagi toleran? Mengapa seolah mereka hanya memiliki satu pilihan untuk menyelesaikan persoalan dengan hanya merusak dan mengamuk? Tidaklah mungkin sesuatu yang telah mendarah-daging dan menjadi adat-kebiasaan yang berlangsung berabad-abad menguap begitu saja dan hilang tanpa bekas...

Sebagian pengamat mengatakan bahwa penyebab dan akar persoalannya adalah aspek keadilan, ekonomi, dan kemiskinan. Masyarakat Indonesia yang masih terpuruk secara ekonomi menjadi rentan dengan isu apapun karena merasa terpinggirkan dan terdesak penghidupannya. Dalam kasus di Mesuji Lampung hal ini sangat kentara. Terlihat bagaimana masyarakat menolak kehadiran perusahaan (asing) karena dianggap akan mengancam sumber menghidupan mereka. Begitu juga dengan apa yang terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat, saat ribuan masyarakat dari beragam tempat datang secara bersama-sama dan membakar kantor bupati di tengah kota karena sang bupati dianggap melindungi dan bekerja sama dengan perusahaan besar (asing) pula. Di berbagai tempat di tanah air, kondisi serupa berlangsung dengan taraf yang berbeda-beda, tetapi dengan latar belakang yang hampir sama.

Faktor lain yang menjadi pemicu adalah alasan (kecenderungan) keagamaan yang berbeda. Sebut saja misalnya kasus Sampang, Jawa Timur. Karena merasa ada sebagian anggota masyarakatnya yang berbeda sedikit dalam pola keyakinan dan tatacara ibadah, maka kelompok massa yang sudah terprovokasi itu lantas melakukan pembakaran atas sebuah pesantren dan beberapa rumah milik masyarakat yang masih sedesa. Ini bukanlah yang pertama dan tampaknya (mudah-mudahan tidak terjadi) bukan yang terakhir, mengingat tingginya kecenderungan masyarakat untuk mengekspresikan kemarahan dengan cara-cara kekerasan belakangan ini. Kita ingat misalnya hal serupa telah beberapa kali terjadi di Bangil, atau kasus Ambon dan Poso yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama.

Menilik peristiwa-peristiwa di atas secara lebih cermat, sebagaimana telah mafhum bagi semua, mustahil kita memperoleh pembenarannya dari teks-teks keagamaan. Dalam agama dan mazhab atau aliran manapun, tampaknya penggunaan kekerasan bukanlah pilihan. Paling tidak, bukan pilihan pertama yang harus diambil. Dalam Islam, misalnya, Sang Nabi saw sangat mengedepankan dirinya sebagai rahmat bagi semesta. Begitu juga dengan agama-agama lain.

Begitu juga kalau kita lihat dalam kultur bangsa kita, kekerasan tak pernah beroleh tempat. Tidak antar-agama, tidak antar-mazhab, tidak pula antar-suku. Bahkan kalau kita perhatikan di Ambon dan Poso, puluhan atau bahkan ratusan tahun sebelumnya mereka telah hidup dalam harmoni. Bukan itu saja, mereka bahkan membangun budaya persatuan dan kerjasama dengan ciri adat masing-masing. Ya, hidup bersama dalam perbedaan bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa kita. Bahkan dalam taraf tertentu, kita “mengajari” dan menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain dalam membangun toleransi dan persatuan.

Lantas, kemana kita mesti merunut akar persoalan ini? Jawabnya, kalau kita mau berani dan jujur, tentu pada rekayasa sistemik dan sistematis oleh tangan-tangan asing! Siapa lagi kalau bukan mereka? Kita memang tak memiliki “kambing yang benar-benar hitam” yang benar-benar dapat kita persalahkan untuk kasus ini.

Dalam contoh kasus serupa di banyak negara, semisal Irak dan Pakistan, tangan asing memang sangat patut dipersalahkan sebagai faktor penyebab semua kekisruhan dan pembantaian yang berdarah-darah. Dalam halnya Irak, kehidupan antar-sekte (Sunni-Syiah) serta antar-etnik (Arab-Kurdi) sebelum kedatangan tentara Amerika Serikat (AS) dan intervensi mereka dalam kehidupan masyarakat Irak, adalah kehidupan yang dipenuhi dengan kerja-sama dalam harmoni. Banyak contoh di mana mereka sangat toleran satu sama lain. Semisal, banyak mesjid-mesjid dan tempat-tempat ziarah kaum Syiah yang dijaga dan dirawat oleh kaum Sunni, dan begitu pula sebaliknya. Begitu pula dengan kehidupan antar etnik Arab dan Kurdi.

Sementara untuk kasus Pakistan, semua orang tahu bahwa instabilitas internal Pakistan akan menghasilkan “ketergantungan abadi” negara ini kepada Amerika Serikat. Kebetulan, faktor (perbedaan kecenderungan) keagamaan menjadi picu yang sangat efektif bagi negeri yang terletak di Asia Selatan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun